OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu, langit tampak berbeda. Angkasa yang biasanya berselimut bintang terlihat gelap dan kosong. Raka, seorang pemuda yang sering menghabiskan malamnya dengan menatap bintang, merasa gelisah. Hatinya terasa seperti dipenuhi kabut yang berat. Ia tak tahu apa yang terjadi, tetapi ia merasa sebuah perubahan besar sedang mendekat.
Saat pagi tiba, suasana semakin aneh. Burung-burung tak bersuara, pohon-pohon seperti membeku, dan semua orang di desanya tiba-tiba berkumpul di lapangan luas. Tidak ada yang tahu mengapa mereka berkumpul, tetapi semua mata memandang ke langit.
Tiba-tiba, suara terompet menggema di seluruh penjuru bumi. Suaranya menggetarkan jiwa, menembus hati yang paling dalam. Suara itu bukan sekadar bunyi; ia membawa rasa takut dan kepastian. Raka berlutut, tubuhnya gemetar, dan ia melihat bahwa semua orang di sekitarnya melakukan hal yang sama.
"Inikah akhirnya?" pikirnya.
Langit pecah menjadi serpihan cahaya yang menyilaukan. Gunung-gunung runtuh seperti kapas yang ditiup angin. Lautan meluap, menelan daratan. Bumi bergetar hebat, seperti sedang melepaskan beban berat yang selama ini dipikulnya.
"Ya Allah, ampunilah aku!" suara-suara dari ribuan orang memecah udara. Mereka menangis, memohon, menyesali dosa-dosa mereka.
Di tengah kekacauan itu, Raka melihat sosok besar bersinar turun dari langit. Malaikat Isrofil, dengan terompetnya yang megah, memandang dengan kewibawaan tak terhingga. Terompet itu ditiup sekali lagi, dan dunia menjadi hening.
Saat Raka membuka matanya, ia mendapati dirinya di tempat yang berbeda. Bumi yang dulu ia kenal telah lenyap. Ia berdiri di sebuah padang luas yang tak bertepi, di mana semua manusia, dari zaman Nabi Adam hingga zaman terakhir, berkumpul.
Di hadapannya, sebuah takhta megah berdiri. Cahaya yang memancar darinya begitu terang, tetapi tidak menyilaukan. Di takhta itu, pengadilan akhir sedang dimulai. Malaikat-malaikat dengan kitab besar berdiri di sekeliling, mencatat setiap amal manusia.