OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pagi di Colo, Kudus, udara terasa segar, tetapi di dalam rumah Nayla, suasana hati berkecamuk. Dapur kecil itu dipenuhi aroma eksotis: jus kelor mentah berpadu pisang dan jeruk nipis, nasi goreng hijau kelor, hingga camilan bakwan jagung kriuk. Alia, sahabat setianya, sibuk menata makanan.
"Nay, coba jus kelornya! Katanya bisa bikin otak encer. Siapa tahu esai kamu langsung rampung!" seru Alia sambil menyerahkan gelas hijau pekat itu.
Nayla hanya mendesah. "Aku nggak butuh otak encer, Al. Aku butuh dosen pembimbing yang nggak nge-push aku kayak robot."
Alia tertawa kecil, tapi tatapannya menyimpan sesuatu. "Mungkin dosen kamu juga butuh jus kelor, biar nggak bikin hidupmu jungkir balik," ujarnya mencoba mencairkan suasana.
Nayla mengaduk jus di tangannya, mendesah lagi. "Kayaknya aku mau berhenti aja deh. Udah terlalu berat."
Alia meletakkan jusnya. "Jangan bicara kayak gitu. Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira, Nay."
Mereka makan dalam diam. Tapi di antara piring nasi goreng hijau kelor dan teh manis, Nayla merasa ada yang tidak beres. Alia lebih banyak menghindari tatapan matanya.
Ketika Nayla membuka laptopnya untuk melanjutkan esai, ia mendapati tab e-mail Alia yang belum tertutup. Awalnya ia hanya ingin menutupnya, tetapi sebuah pesan membuat matanya terpaku.
From: Prof. Rizky Alfarizi
To: Alia Pradipta