Ketika Rifan membuka mata, ia mendapati dirinya berada kembali di pesantren. Namun, ada sesuatu yang aneh. Wajah-wajah para santri tampak lebih tua, lebih bijaksana, sementara Kyai Zainal, yang biasanya begitu penuh wibawa, kini terlihat lebih muda dan lebih bersinar.
"Kyai?" tanya Rifan, bingung setengah mati.
Kyai Zainal hanya tersenyum dengan lembut. "Selamat datang kembali, Rifan. Kau telah melewati perjalananmu sendiri, dan akhirnya, kau akan tahu bahwa jawaban yang kau cari tidak terletak di luar dirimu. Ikhlas bukan sesuatu yang bisa ditemukan, ia hanya bisa dirasakan ketika kita melepaskan semuanya---tanpa harapan."
Rifan terdiam, perlahan mencerna kata-kata Kyai Zainal. Ternyata, jawabannya sudah ada dalam dirinya, sejak awal. Ikhlas itu bukan tentang mencari, melainkan tentang menerima. Dan saat ia benar-benar melepaskan segala harapan, ia akhirnya merasakannya dengan tulus.
Rifan tersenyum, merasa kosong yang selama ini menghantui dirinya mulai menghilang. Tak ada yang lebih menenangkan selain menerima kenyataan bahwa hidup ini berjalan dengan caranya sendiri, dan kita hanya perlu mengalir bersamanya.
Dengan perasaan yang lebih tenang dan hati yang lapang, ia kembali ke kelas, kali ini bukan untuk mencari jawaban, tetapi untuk menerima setiap pertanyaan yang datang, dengan ikhlas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H