Namun, kata-kata Kyai Zainal malah semakin membingungkan Rifan. Sepertinya, tak ada satu pun yang benar-benar bisa menjawab kebingungannya. Dalam keputusasaannya, ia memutuskan untuk meninggalkan kelas dan mencari jawabannya sendiri, jauh dari pesantren.
Rifan berjalan cepat menuju tepi desa, tempat yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya---sebuah gua yang kabarnya penuh dengan misteri. Ia berharap di sana ia bisa menemukan jawaban, atau setidaknya sebuah kejelasan. Ia tak peduli dengan apapun yang menunggunya. Ia hanya ingin keluar dari kebingungannya.
Begitu ia sampai di mulut gua, sebuah suara misterius menyapanya.
"Apakah kamu benar-benar ingin tahu jawabannya?" suara itu datang dari kegelapan yang lebih dalam.
Rifan terkejut. Ia berbalik, mencari sumber suara, namun tak ada siapa-siapa. "Siapa itu?" teriaknya, bingung dan ketakutan.
Tiba-tiba, dari balik bayangan, seorang lelaki muncul. Ia berpakaian lusuh, wajahnya penuh kerut dan janggut panjang. Namun, matanya menyala dengan intensitas yang aneh. "Aku yang telah mencari kebenaran sepanjang hidupku, dan aku temukan satu hal penting," kata lelaki itu dengan suara serak, "Ikhlas itu bukan milik kita untuk dicari. Ia datang ketika kita melepaskan semua harapan."
"Bagaimana bisa?" tanya Rifan, tak habis pikir.
Lelaki itu hanya tersenyum sinis. "Selama ini, kamu beramal untuk mendapatkan sesuatu---pahala, pujian, atau bahkan rasa tenang. Ikhlas datang hanya saat kamu melepaskan semua itu. Begitu kamu melepaskan harapan-harapan itu, baru kamu akan merasakannya."
Rifan terdiam. "Aku telah salah selama ini?" gumamnya, "Aku beramal dengan berharap segala sesuatu."
Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, lelaki itu menghilang begitu saja ke dalam kegelapan, meninggalkan Rifan dengan perasaan yang semakin gelisah.
Di saat itulah, ia terjatuh ke dalam jurang yang tiba-tiba terbuka di bawah kakinya. Dunia berputar, dan Rifan merasa dirinya jatuh semakin dalam. Namun, sebelum semuanya berakhir, tangan seseorang menariknya dengan kuat.