Beberapa hari kemudian, Zaki semakin tenggelam dalam keraguan. Ia mencari jawaban dengan membaca segala hal yang bisa menantang keyakinannya---buku-buku yang mengkritik agama, artikel-artikel yang berbicara tentang sains dan rasionalitas. Malam demi malam, ia semakin jauh dari keyakinan yang telah diajarkan di pesantren.
Pada suatu malam, Zaki bertemu dengan Siti, seorang gadis desa yang dikenal karena pandangannya yang skeptis terhadap agama. Mereka duduk berdua di sebuah warung kopi, tempat yang sunyi dan penuh kegelapan. Zaki menceritakan semua kebimbangannya.
"Siti," katanya dengan suara terbata-bata, "Aku ingin menemukan kebenaran. Tapi aku merasa terjebak dalam kebohongan yang mereka ajarkan. Semua ini terasa tidak masuk akal. Bagaimana bisa iman diterima begitu saja tanpa bukti?"
Siti mengangguk, menatap Zaki dengan penuh perhatian. "Aku mengerti, Zaki. Tapi, apakah kau pernah berpikir bahwa kadang-kadang, kebenaran itu tak bisa dipahami hanya dengan logika? Terkadang kita harus membuka hati untuk sesuatu yang lebih besar dari pemikiran kita."
Kata-kata Siti menggores hati Zaki, namun ia tetap berkeras. "Tidak, Siti. Aku harus membuktikan ini sendiri. Aku akan menemukan jawaban dengan caraku."
Keesokan harinya, Zaki kembali ke pesantren dengan niat yang lebih kuat. Ia akan menunjukkan kepada dirinya sendiri bahwa iman itu hanyalah ilusi yang dibangun oleh tradisi. Namun, ketika ia masuk ke dalam kelas, suasana di dalamnya terasa berbeda. Kyai Abdul Rahman menatapnya dengan tatapan yang dalam, seakan mengetahui apa yang sedang bergelora dalam hati Zaki.
"Zaki," kata Kyai Abdul Rahman dengan suara penuh makna, "Kau telah mencari jawaban yang kau anggap benar. Namun, apakah kau siap dengan akibatnya?"
Zaki terkejut. "Apa maksud Kyai?"
Kyai Abdul Rahman menghela napas panjang, lalu berkata, "Terkadang, jawaban yang kita cari justru mengubah hidup kita selamanya. Iman itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, Zaki. Ia datang ketika kita membuka hati, bukan ketika kita memaksakan pikiran."
Zaki menatapnya bingung. Ia merasa hatinya mulai goyah, namun pikirannya masih bertanya-tanya, Apa yang sebenarnya Kyai coba sampaikan?
Tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Zaki merasa seperti ada kekuatan besar yang menyelimuti dirinya. Suasana kelas tiba-tiba menjadi hening, seolah dunia berhenti berputar. Sebuah suara dalam hatinya berbisik, "Iman datang bukan dari pencarian panjang, tetapi dari ketenangan hati yang terbuka."