OLEH: Khoeri Abdul Muid
Apa yang akan terjadi jika kita terus menunda pekerjaan yang harus diselesaikan?
Akankah waktu tetap berpihak pada kita, atau justru kita akan dikejar oleh penyesalan yang tak pernah usai?
Sore itu, di sebuah ruang kelas yang sunyi, Rizky duduk termenung di bangkunya. Jam dinding yang terpasang di sudut ruangan berdetak pelan, seolah menunggu ia menyelesaikan tugas yang sudah ditunggu-tunggu.
Tapi, entah kenapa, pandangannya kosong, dan pikirannya melayang jauh. Tugas yang diberikan Ustaz Abdullah beberapa hari lalu masih belum ia sentuh. Di luar, suara temannya yang sedang bermain bola di halaman seolah menjadi godaan yang tak terbendung.
"Ah, nanti saja," gumamnya pelan, mencoba mengusir rasa bersalah yang mulai menghinggapinya. "Masih banyak waktu. Aku bisa menyelesaikannya besok."
Namun, saat itu juga, seakan dunia berhenti sejenak. Waktu, yang selama ini tampak begitu panjang, tiba-tiba terasa begitu sempit. Rizky merasakan tekanan yang begitu kuat di dadanya. Semua keputusan yang ia tunda, semua janji yang ia ingkari, mulai menghantui pikirannya.
Malam semakin larut, dan Rizky merasa semakin terperangkap dalam lingkaran penundaan. Begitu banyak alasan yang ia ciptakan untuk menghindari tugas itu. "Hari ini aku sudah lelah," pikirnya. "Besok saja, pasti ada waktu." Tetapi, esok tak pernah datang dengan mudah. Setiap hari, ia menyalahkan kesibukannya, namun tugas itu tetap menunggu, semakin menumpuk, semakin berat.
Hari demi hari berlalu. Tugas itu seolah menjadi bayangan yang terus mengejarnya. Ustaz Abdullah, yang awalnya memberikan kesempatan, kini mulai menunjukkan tanda-tanda keheranan. "Rizky, sudah hampir seminggu, bagaimana tugasmu?" tanyanya, dengan tatapan yang penuh arti. Rizky hanya bisa tersenyum canggung, berusaha menghindar. "Nanti saya kerjakan, Ustaz. InsyaAllah," jawabnya dengan suara yang mulai terdengar lemah.
Namun, dalam hatinya, ada perasaan yang semakin membebani. Ia tahu bahwa ia tak bisa lagi menghindar dari kenyataan. Waktu yang selama ini ia anggap melimpah, kini terasa begitu cepat berlalu, meninggalkannya dengan beban yang kian besar.
Pada suatu sore yang gelap, saat kelas selesai, Rizky merasa seolah semua mata tertuju padanya. Ustaz Abdullah memanggilnya, kali ini dengan nada yang tidak biasa. "Rizky, bagaimana dengan tugas makalahmu tentang waktu?" tanya Ustaz Abdullah dengan lembut, tetapi suaranya mengandung kedalaman yang tak bisa diabaikan. Rizky merasa wajahnya memerah. Ia tahu, saat itu, bukan hanya tugas yang ditanyakan, tetapi juga mengenai pilihan hidupnya. Pilihan untuk menghargai waktu, atau terus hidup dalam penundaan yang membawa kehampaan.
Dengan langkah yang terasa berat, Rizky mendekati meja Ustaz Abdullah. Ia merasa tenggorokannya tercekat. "Ustaz, saya... saya belum menyelesaikannya," jawabnya dengan suara gemetar. Semua alasan yang pernah ia ciptakan, kini terasa begitu rapuh dan tak berarti.
Ustaz Abdullah mengangguk pelan, lalu berkata dengan tegas namun penuh kasih sayang, "Rizky, waktu adalah amanah yang sangat berharga. Setiap detiknya tidak bisa kita ulang. Menunda pekerjaan hanya akan membuat kita terjebak dalam penyesalan yang tak ada habisnya. Jangan biarkan penundaan menguasai hidupmu."
Kata-kata Ustaz Abdullah seperti petir yang menyambar hatinya. Rizky terdiam, merasa seolah-olah seluruh dunia berhenti sejenak. Ia merasa dirinya terjatuh dalam lubang penundaan yang tak bisa lagi ia keluar. Namun, di dalam kehampaan itu, muncul sebuah kesadaran yang begitu tajam, begitu kuat. "Aku telah kehilangan banyak waktu," pikirnya, "tetapi sekarang aku bisa memperbaikinya."
Malam itu, Rizky duduk di meja belajarnya, menatap tumpukan buku yang belum terbuka. Namun, berbeda dari sebelumnya, kali ini ia merasa semangat yang membara di dalam dirinya. Setiap detik yang berlalu kini terasa berharga, dan ia tahu bahwa ia tidak akan menyia-nyiakannya lagi. Ia mulai menulis dengan tekun, melawan godaan untuk menunda lagi.
Setiap kalimat yang ia tulis bukan hanya untuk menyelesaikan tugas, tetapi untuk menebus semua waktu yang pernah ia buang. Ia menulis tentang pentingnya menghargai waktu, tentang bagaimana menunda-nunda hanya akan membawa penyesalan yang tak terhindarkan.
Keesokan harinya, Rizky mengumpulkan tugasnya kepada Ustaz Abdullah. Kali ini, ia tidak hanya merasa lega karena telah menyelesaikan tugas, tetapi juga merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar makalah---ia merasa dirinya telah belajar menghargai waktu, belajar bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya.
Ustaz Abdullah memeriksa makalahnya dengan senyum bijak. "Bagus, Rizky. Kamu telah belajar dengan baik. Ini bukan hanya tentang tugas, tetapi tentang bagaimana kamu sekarang lebih menghargai waktu yang kamu miliki. Semoga pelajaran ini bisa kamu bawa ke kehidupanmu ke depan."
Rizky tersenyum dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Ustaz. Saya sudah belajar bahwa waktu itu terlalu berharga untuk disia-siakan. Tak akan ada lagi kata 'nanti' dalam hidup saya."
Waktu adalah harta yang tak ternilai. Setiap detiknya adalah kesempatan yang tak bisa kembali. Menunda-nunda hanya akan membawa penyesalan, tetapi dengan belajar menghargai waktu, kita bisa mencapai tujuan dengan lebih damai dan bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H