OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, tinggal seorang pemuda bernama Amar. Sejak kecil, ia dikenal cerdas dan sering menjadi kebanggaan keluarganya. Sebelum berangkat ke pesantren, kepala desa bahkan memberinya sambutan khusus.
"Amar, kamu akan jadi kebanggaan desa ini. Jangan lupa, kelak ceritakan pada dunia bahwa kami pernah mendukungmu," ujar kepala desa dengan tepuk tangan yang disambut riuh warga.
Dalam hati, Amar membayangkan masa depan yang cerah---nama besarnya akan dikenal, dan desa ini akan berterima kasih padanya.
Setibanya di pesantren, Amar mulai belajar dengan tekun. Tapi, sesuatu selalu mengusiknya. Dalam pikirannya, ia sering membayangkan dirinya berdiri di depan ribuan orang, memberikan ceramah dengan suara lantang, lalu tepuk tangan membahana. "Aku akan jadi ulama terkenal," gumamnya sambil tersenyum sendiri.
Namun, sifat itu membuat Amar sedikit ceroboh. Ia sering lupa memperbaiki niatnya. Ketika gurunya, Kiai Nur, mengajarkan tentang pentingnya keikhlasan, Amar hanya mendengarkan sambil lalu.
Tibalah hari ujian hafalan Al-Qur'an. Amar merasa percaya diri karena ia sudah belajar keras. Saat dipanggil ke depan, ia berjalan dengan penuh keyakinan, senyumnya lebar. Namun, ketika mulai membaca ayat pertama, sesuatu yang ganjil terjadi.
"Lidahku... kenapa rasanya berat?" bisik Amar dalam hati.
Ayat yang biasanya lancar dihafalnya kini terasa kabur. Ia berulang kali mencoba, tetapi kesalahannya terus bertambah. Wajah Amar memerah, tubuhnya gemetar. Suara teman-temannya yang membisikkan hafalan mereka terasa seperti ejekan di telinganya.
Malam itu, Amar duduk sendirian di sudut asrama. Rasa malu menusuk hatinya, seolah bayangan dirinya sebagai ulama terkenal hancur berkeping-keping.
Keesokan harinya, Kiai Nur memanggil Amar untuk berbicara di serambi pesantren. Dengan senyum lembut, beliau bertanya,
"Amar, apakah kau tahu mengapa hafalanmu kacau kemarin?"
Amar menggeleng, meskipun dalam hatinya ia tahu jawaban itu.
Kiai melanjutkan, "Niatmu adalah kunci dari semuanya, Nak. Jika ilmu itu kau cari hanya untuk dunia, Allah akan mencabut keberkahannya. Ilmu itu seperti air. Ia hanya mengalir ke tempat yang rendah. Rendahkan hatimu, Amar. Biarkan niatmu murni karena Allah."
Amar terdiam. Kata-kata Kiai Nur bagai cahaya yang masuk ke relung hatinya. Di malam itu, di atas sajadah lusuh di kamar, ia menangis terisak. Ia meminta ampun kepada Allah, memohon agar niatnya kembali lurus.
Hari-hari berikutnya, Amar belajar dengan cara berbeda. Ia tak lagi memikirkan pujian atau popularitas, melainkan hanya ingin memahami dan mengamalkan ilmu yang ia pelajari.
Ketika ujian hafalan berikutnya tiba, Amar membaca dengan lancar, tanpa ragu sedikit pun. Setelah selesai, Kiai Nur tersenyum dan berkata,
"Amar, lihatlah bagaimana Allah memberimu kemudahan saat niatmu benar. Ingat, ilmu itu cahaya. Cahaya-Nya hanya masuk ke hati yang bersih."
Amar mengangguk sambil tersenyum. Setelah ujian, ia melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: mengajari hafalan Al-Qur'an kepada anak-anak desa yang buta huruf. Di setiap tawa dan senyum polos mereka, Amar merasa damai.
"Ini," pikirnya, "adalah keberhasilan yang sesungguhnya."
Niat adalah jantung dari menuntut ilmu. Jika niatnya benar dan ikhlas, keberkahan ilmu akan terasa, dan cahaya-Nya akan menerangi kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H