Kiai melanjutkan, "Niatmu adalah kunci dari semuanya, Nak. Jika ilmu itu kau cari hanya untuk dunia, Allah akan mencabut keberkahannya. Ilmu itu seperti air. Ia hanya mengalir ke tempat yang rendah. Rendahkan hatimu, Amar. Biarkan niatmu murni karena Allah."
Amar terdiam. Kata-kata Kiai Nur bagai cahaya yang masuk ke relung hatinya. Di malam itu, di atas sajadah lusuh di kamar, ia menangis terisak. Ia meminta ampun kepada Allah, memohon agar niatnya kembali lurus.
Hari-hari berikutnya, Amar belajar dengan cara berbeda. Ia tak lagi memikirkan pujian atau popularitas, melainkan hanya ingin memahami dan mengamalkan ilmu yang ia pelajari.
Ketika ujian hafalan berikutnya tiba, Amar membaca dengan lancar, tanpa ragu sedikit pun. Setelah selesai, Kiai Nur tersenyum dan berkata,
"Amar, lihatlah bagaimana Allah memberimu kemudahan saat niatmu benar. Ingat, ilmu itu cahaya. Cahaya-Nya hanya masuk ke hati yang bersih."
Amar mengangguk sambil tersenyum. Setelah ujian, ia melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: mengajari hafalan Al-Qur'an kepada anak-anak desa yang buta huruf. Di setiap tawa dan senyum polos mereka, Amar merasa damai.
"Ini," pikirnya, "adalah keberhasilan yang sesungguhnya."
Niat adalah jantung dari menuntut ilmu. Jika niatnya benar dan ikhlas, keberkahan ilmu akan terasa, dan cahaya-Nya akan menerangi kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H