Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya di Balik Niat

4 Desember 2024   18:26 Diperbarui: 4 Desember 2024   18:38 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, tinggal seorang pemuda bernama Amar. Sejak kecil, ia dikenal cerdas dan sering menjadi kebanggaan keluarganya. Sebelum berangkat ke pesantren, kepala desa bahkan memberinya sambutan khusus.
"Amar, kamu akan jadi kebanggaan desa ini. Jangan lupa, kelak ceritakan pada dunia bahwa kami pernah mendukungmu," ujar kepala desa dengan tepuk tangan yang disambut riuh warga.

Dalam hati, Amar membayangkan masa depan yang cerah---nama besarnya akan dikenal, dan desa ini akan berterima kasih padanya.

Setibanya di pesantren, Amar mulai belajar dengan tekun. Tapi, sesuatu selalu mengusiknya. Dalam pikirannya, ia sering membayangkan dirinya berdiri di depan ribuan orang, memberikan ceramah dengan suara lantang, lalu tepuk tangan membahana. "Aku akan jadi ulama terkenal," gumamnya sambil tersenyum sendiri.

Namun, sifat itu membuat Amar sedikit ceroboh. Ia sering lupa memperbaiki niatnya. Ketika gurunya, Kiai Nur, mengajarkan tentang pentingnya keikhlasan, Amar hanya mendengarkan sambil lalu.

Tibalah hari ujian hafalan Al-Qur'an. Amar merasa percaya diri karena ia sudah belajar keras. Saat dipanggil ke depan, ia berjalan dengan penuh keyakinan, senyumnya lebar. Namun, ketika mulai membaca ayat pertama, sesuatu yang ganjil terjadi.
"Lidahku... kenapa rasanya berat?" bisik Amar dalam hati.

Ayat yang biasanya lancar dihafalnya kini terasa kabur. Ia berulang kali mencoba, tetapi kesalahannya terus bertambah. Wajah Amar memerah, tubuhnya gemetar. Suara teman-temannya yang membisikkan hafalan mereka terasa seperti ejekan di telinganya.

Malam itu, Amar duduk sendirian di sudut asrama. Rasa malu menusuk hatinya, seolah bayangan dirinya sebagai ulama terkenal hancur berkeping-keping.

Keesokan harinya, Kiai Nur memanggil Amar untuk berbicara di serambi pesantren. Dengan senyum lembut, beliau bertanya,
"Amar, apakah kau tahu mengapa hafalanmu kacau kemarin?"

Amar menggeleng, meskipun dalam hatinya ia tahu jawaban itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun