Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Di Balik Nilai KKM

4 Desember 2024   21:53 Diperbarui: 4 Desember 2024   21:56 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Suasana rapat guru di SD Bina Luhur semakin tegang. Kepala sekolah, Pak Arman, berdiri di depan dengan ekspresi serius, memegang tumpukan kertas nilai ujian siswa yang baru saja dikoreksi.

"Kita harus membuat laporan ini rapih dan sesuai harapan. Jangan sampai ada siswa yang tidak naik kelas," ucap Pak Arman tegas, suara beratnya menggema di seluruh ruangan.

Bu Retno, guru kelas 6 yang dikenal lurus dan jujur, mengangkat tangan dengan ragu. "Pak, saya punya beberapa siswa yang nilainya memang di bawah KKM. Kalau kita paksa mereka naik kelas, bagaimana mereka bisa bertanggung jawab atas pendidikan mereka sendiri?"

Pak Arman mendesah, menatap Bu Retno dengan senyum tipis yang semakin membuat suasana jadi kaku. "Bu Retno, kita ini sedang membangun citra sekolah. Kalau terlalu banyak siswa tidak naik kelas, itu akan mempengaruhi akreditasi dan penilaian kinerja kita. Semua ini harus sesuai standar, karena kita berada di bawah pengawasan."

Guru-guru lain yang duduk di sekitar meja rapat hanya mengangguk setuju, mereka sudah terbiasa dengan tekanan semacam ini. Namun, Bu Retno tetap gelisah. Baginya, pendidikan bukan sekadar angka atau laporan indah. Pendidikan adalah tentang membentuk karakter, bukan sekadar menaikkan status sekolah.

Pulang dari rapat itu, Bu Retno merasa hatinya semakin berat. Di tengah segala tekanan itu, ia berusaha mencari cara agar anak-anak didiknya tetap mendapatkan pendidikan yang bermakna. Salah satu siswa yang mengganggu pikirannya adalah Raka. Ia sering bermasalah dengan disiplin dan nilai akademik, tetapi memiliki bakat luar biasa di bidang seni.

Suatu pagi, Bu Retno memutuskan untuk berbicara dengan Raka. "Raka, kenapa kamu tidak belajar lebih giat? Nilai kamu jauh di bawah KKM, ini akan berpengaruh pada kelulusanmu."

Raka menunduk, terlihat kecewa. "Bu, saya tahu saya tidak pintar seperti teman-teman yang lain. Tapi saya suka melukis. Itu saja yang saya bisa."

Bu Retno merasa bingung, namun ia tak bisa mengabaikan apa yang dilihatnya di mata Raka. Ia sadar bahwa sistem pendidikan yang terlalu menekankan angka sering kali melupakan bakat dan potensi unik setiap anak. Namun, kenyataan di depan matanya membuatnya harus memilih antara kebenaran dan tekanan sistem.

Di rapat berikutnya, Bu Retno memutuskan untuk berbicara lagi dengan Pak Arman. "Pak, saya mohon maaf, saya tidak bisa memanipulasi nilai Raka atau siswa lainnya. Ini bukan hanya soal angka. Kita sedang mengajarkan moral dan etika kepada mereka."

Pak Arman menatapnya tajam. "Bu Retno, Anda harus mengerti, kita bukan hanya mengajar di kelas. Kita juga menjaga citra sekolah. Kalau Anda tidak bisa bekerja sama, itu akan menjadi masalah besar."

Sebelum Bu Retno bisa menjawab, pintu terbuka dengan suara keras, dan Raka tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Semua mata tertuju padanya, seolah waktu berhenti sejenak. Dengan tangan gemetar, Raka membuka lukisan besar yang dia bawa.

Lukisan itu menggambarkan wajah seorang guru yang sedang membimbing muridnya dengan penuh kesabaran. Di bawahnya tertulis: "Guru adalah cahaya, bukan bayang-bayang."

Ruangan mendadak hening. Tidak ada yang bisa berkata apa-apa. Pak Arman terdiam, wajahnya berubah menjadi merah. "Apa maksudmu ini, Raka?" tanya Pak Arman, tetapi suaranya terasa lemah.

Raka menatapnya langsung, tidak gentar. "Pak, saya tahu nilai saya tidak bagus. Tapi saya belajar dari Bu Retno bahwa menjadi jujur dan bekerja keras itu lebih penting daripada sekadar angka di rapor."

Bu Retno tersenyum bangga, matanya sedikit berkaca-kaca. Semua guru di ruangan itu, termasuk Pak Arman, terdiam merenung. Raka tidak hanya melukis, tetapi juga mengguncang hati mereka semua dengan keberaniannya.

Tiba-tiba, ponsel Pak Arman bergetar. Ia melihat layar dan wajahnya memucat. Ada pesan masuk dari Dinas Pendidikan: "Laporan prestasi sekolah Anda harus mencakup keberhasilan dalam membentuk karakter siswa. Pendidikan tidak hanya soal nilai."

Dengan tatapan kosong, Pak Arman akhirnya mengangguk. "Baiklah, kita akan membahas ulang kebijakan ini."

Tak lama setelah itu, lukisan Raka viral di media sosial. Ribuan orang mulai membicarakan tentang pentingnya pendidikan karakter dan etika di sekolah. Bahkan, beberapa wartawan datang ke sekolah untuk menginterview Raka dan Bu Retno. Ternyata, perubahan itu dimulai dari keberanian seorang siswa dan seorang guru untuk berdiri teguh pada prinsip mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun