OLEH: Khoeri Abdul Muid
Suasana rapat guru di SD Bina Luhur semakin tegang. Kepala sekolah, Pak Arman, berdiri di depan dengan ekspresi serius, memegang tumpukan kertas nilai ujian siswa yang baru saja dikoreksi.
"Kita harus membuat laporan ini rapih dan sesuai harapan. Jangan sampai ada siswa yang tidak naik kelas," ucap Pak Arman tegas, suara beratnya menggema di seluruh ruangan.
Bu Retno, guru kelas 6 yang dikenal lurus dan jujur, mengangkat tangan dengan ragu. "Pak, saya punya beberapa siswa yang nilainya memang di bawah KKM. Kalau kita paksa mereka naik kelas, bagaimana mereka bisa bertanggung jawab atas pendidikan mereka sendiri?"
Pak Arman mendesah, menatap Bu Retno dengan senyum tipis yang semakin membuat suasana jadi kaku. "Bu Retno, kita ini sedang membangun citra sekolah. Kalau terlalu banyak siswa tidak naik kelas, itu akan mempengaruhi akreditasi dan penilaian kinerja kita. Semua ini harus sesuai standar, karena kita berada di bawah pengawasan."
Guru-guru lain yang duduk di sekitar meja rapat hanya mengangguk setuju, mereka sudah terbiasa dengan tekanan semacam ini. Namun, Bu Retno tetap gelisah. Baginya, pendidikan bukan sekadar angka atau laporan indah. Pendidikan adalah tentang membentuk karakter, bukan sekadar menaikkan status sekolah.
Pulang dari rapat itu, Bu Retno merasa hatinya semakin berat. Di tengah segala tekanan itu, ia berusaha mencari cara agar anak-anak didiknya tetap mendapatkan pendidikan yang bermakna. Salah satu siswa yang mengganggu pikirannya adalah Raka. Ia sering bermasalah dengan disiplin dan nilai akademik, tetapi memiliki bakat luar biasa di bidang seni.
Suatu pagi, Bu Retno memutuskan untuk berbicara dengan Raka. "Raka, kenapa kamu tidak belajar lebih giat? Nilai kamu jauh di bawah KKM, ini akan berpengaruh pada kelulusanmu."
Raka menunduk, terlihat kecewa. "Bu, saya tahu saya tidak pintar seperti teman-teman yang lain. Tapi saya suka melukis. Itu saja yang saya bisa."
Bu Retno merasa bingung, namun ia tak bisa mengabaikan apa yang dilihatnya di mata Raka. Ia sadar bahwa sistem pendidikan yang terlalu menekankan angka sering kali melupakan bakat dan potensi unik setiap anak. Namun, kenyataan di depan matanya membuatnya harus memilih antara kebenaran dan tekanan sistem.
Di rapat berikutnya, Bu Retno memutuskan untuk berbicara lagi dengan Pak Arman. "Pak, saya mohon maaf, saya tidak bisa memanipulasi nilai Raka atau siswa lainnya. Ini bukan hanya soal angka. Kita sedang mengajarkan moral dan etika kepada mereka."