Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lukisan Tuhan di Mata Aristoteles

3 Desember 2024   07:50 Diperbarui: 3 Desember 2024   07:51 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. liputan6.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah perpustakaan tua di jantung kota Athena, aku duduk termenung di hadapan buku-buku kuno yang berserakan. Hari itu terasa istimewa. Aku menemukan manuskrip yang konon ditulis oleh murid setia Aristoteles, mengisahkan tentang diskusi panas antara sang filsuf dan seorang muridnya yang berani menantang pemikiran gurunya.

"Guru," kata murid itu, "jika manusia adalah makhluk paling sempurna, mengapa ada begitu banyak kekacauan di dunia? Tidakkah itu menunjukkan kelemahan ciptaan?"

Aristoteles menatapnya tajam. "Kekacauan bukan kelemahan, tapi bagian dari harmoni yang lebih besar. Kau hanya melihat serpihan, bukan keseluruhan lukisan."

Aku membaca kalimat itu dengan hati berdebar. Apa yang dimaksud Aristoteles dengan "lukisan Tuhan"?

Namun, keheningan perpustakaan itu tiba-tiba pecah oleh suara seorang pria asing. "Kau mencari sesuatu, Tuan?" tanyanya.

Pria itu mengenakan jubah lusuh dan memegang buku yang lebih tua daripada apa pun yang pernah kulihat. "Aku hanya membaca," jawabku singkat, tapi mataku tetap tertuju pada manuskrip di tanganku.

"Aku tahu manuskrip itu. Kau ingin tahu tentang Alexander, murid sang filsuf, bukan?" tanyanya dengan senyum misterius.

Aku mengangguk, sedikit ragu. "Ya, dia murid Aristoteles. Tapi aku ingin tahu lebih dari sekadar fakta. Apa sebenarnya yang membuat mereka berdua begitu berpengaruh?"

Pria itu duduk di depanku tanpa diundang. "Alexander adalah murid yang berani bermimpi, dan Aristoteles adalah guru yang berani mengajarkan tentang keterbatasan manusia. Namun, bahkan Alexander yang menaklukkan dunia tidak bisa mengatasi ketakutannya terhadap hal kecil seperti nyamuk. Ironi itu adalah pelajaran dari Tuhan."

Kata-kata pria itu menghantam pikiranku. "Apa maksudmu?" tanyaku.

"Dunia ini penuh paradoks, seperti lukisan Tuhan yang dijelaskan Aristoteles. Kau mencari kesempurnaan, tapi sesungguhnya, kesempurnaan itu ada dalam ketidaksempurnaan. Alexander yang besar takut pada nyamuk, sementara seorang filsuf seperti Aristoteles menempatkan dirinya di bawah bayang-bayang dewa yang dia anggap sebagai bayangan manusia."

Aku terdiam. Kata-kata pria itu terasa seperti kunci yang membuka tabir misteri di pikiranku.

Namun, sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, pria itu berdiri. "Kadang, pertanyaanmu lebih penting daripada jawabannya. Ingat itu." Ia lalu berjalan menjauh, meninggalkan aku dengan pikiran yang semakin bergolak.

Malam itu, di bawah cahaya bulan, aku merenungkan diskusi antara Aristoteles dan muridnya. Apakah Tuhan melukis dunia ini dengan harmoni yang tidak bisa kita pahami? Dan jika benar, bagaimana kita sebagai manusia seharusnya melihat lukisan itu?

Konflik antara pemahaman manusia dan keterbatasan pemikiran mereka adalah cerita yang tak pernah selesai. Tapi satu hal yang pasti, bahkan para filsuf besar seperti Aristoteles pun tak lepas dari paradoks hidup yang mempesona dan menantang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun