Kata-kata pria itu menghantam pikiranku. "Apa maksudmu?" tanyaku.
"Dunia ini penuh paradoks, seperti lukisan Tuhan yang dijelaskan Aristoteles. Kau mencari kesempurnaan, tapi sesungguhnya, kesempurnaan itu ada dalam ketidaksempurnaan. Alexander yang besar takut pada nyamuk, sementara seorang filsuf seperti Aristoteles menempatkan dirinya di bawah bayang-bayang dewa yang dia anggap sebagai bayangan manusia."
Aku terdiam. Kata-kata pria itu terasa seperti kunci yang membuka tabir misteri di pikiranku.
Namun, sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, pria itu berdiri. "Kadang, pertanyaanmu lebih penting daripada jawabannya. Ingat itu." Ia lalu berjalan menjauh, meninggalkan aku dengan pikiran yang semakin bergolak.
Malam itu, di bawah cahaya bulan, aku merenungkan diskusi antara Aristoteles dan muridnya. Apakah Tuhan melukis dunia ini dengan harmoni yang tidak bisa kita pahami? Dan jika benar, bagaimana kita sebagai manusia seharusnya melihat lukisan itu?
Konflik antara pemahaman manusia dan keterbatasan pemikiran mereka adalah cerita yang tak pernah selesai. Tapi satu hal yang pasti, bahkan para filsuf besar seperti Aristoteles pun tak lepas dari paradoks hidup yang mempesona dan menantang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H