OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah perpustakaan tua di jantung kota Athena, aku duduk termenung di hadapan buku-buku kuno yang berserakan. Hari itu terasa istimewa. Aku menemukan manuskrip yang konon ditulis oleh murid setia Aristoteles, mengisahkan tentang diskusi panas antara sang filsuf dan seorang muridnya yang berani menantang pemikiran gurunya.
"Guru," kata murid itu, "jika manusia adalah makhluk paling sempurna, mengapa ada begitu banyak kekacauan di dunia? Tidakkah itu menunjukkan kelemahan ciptaan?"
Aristoteles menatapnya tajam. "Kekacauan bukan kelemahan, tapi bagian dari harmoni yang lebih besar. Kau hanya melihat serpihan, bukan keseluruhan lukisan."
Aku membaca kalimat itu dengan hati berdebar. Apa yang dimaksud Aristoteles dengan "lukisan Tuhan"?
Namun, keheningan perpustakaan itu tiba-tiba pecah oleh suara seorang pria asing. "Kau mencari sesuatu, Tuan?" tanyanya.
Pria itu mengenakan jubah lusuh dan memegang buku yang lebih tua daripada apa pun yang pernah kulihat. "Aku hanya membaca," jawabku singkat, tapi mataku tetap tertuju pada manuskrip di tanganku.
"Aku tahu manuskrip itu. Kau ingin tahu tentang Alexander, murid sang filsuf, bukan?" tanyanya dengan senyum misterius.
Aku mengangguk, sedikit ragu. "Ya, dia murid Aristoteles. Tapi aku ingin tahu lebih dari sekadar fakta. Apa sebenarnya yang membuat mereka berdua begitu berpengaruh?"
Pria itu duduk di depanku tanpa diundang. "Alexander adalah murid yang berani bermimpi, dan Aristoteles adalah guru yang berani mengajarkan tentang keterbatasan manusia. Namun, bahkan Alexander yang menaklukkan dunia tidak bisa mengatasi ketakutannya terhadap hal kecil seperti nyamuk. Ironi itu adalah pelajaran dari Tuhan."