Pria itu melanjutkan, "Yarpiz adalah batu berharga dari kawasan Asia Barat. Dulunya populer di sekitar pegunungan Zagros hingga gurun Dedan, tempat lahir bangsa Arab. Tapi, seperti kata Kristen, nilainya bukan hanya pada wujudnya, tetapi pada apa yang ia wakili."
Seorang pemuda dengan nada sinis menyela, "Apa hubungan batu itu dengan kota Antiokia? Anda hanya ingin menarik perhatian!"
Ruangan mulai riuh. Beberapa orang terlihat gelisah, sementara yang lain menunggu jawaban.
Pria itu tetap tenang. "Hubungannya adalah perjalanan pencarian makna. Seperti para murid di Antiokia yang menemukan identitas baru, yarpiz melambangkan pencarian kita akan keindahan dan kebenaran yang tersembunyi."
Wanita skeptis tadi berdiri lagi, kali ini dengan nada lebih tajam. "Tuan, Anda berbicara tentang simbol, tetapi di mana buktinya? Apa yang sebenarnya Anda ingin sampaikan?"
Pria itu menghela napas panjang, lalu menatap audiens dengan sorot yang dalam. "Bukti ada pada kita. Pertanyaan saya sederhana: Apakah kita, seperti para murid di Antiokia, siap menerima identitas yang membawa tanggung jawab besar? Apakah kita siap mencari yarpiz kita masing-masing, atau kita lebih memilih tinggal dalam kebingungan dan prasangka?"
Suasana kembali hening. Wanita itu duduk, kali ini dengan ekspresi penuh renungan.
Dari barisan depan, seorang pria tua berdiri, suaranya gemetar namun jelas. "Aku mengerti sekarang. Kita semua punya yarpiz. Tapi, apakah kita cukup berani untuk mencarinya?"
Pria di panggung tersenyum hangat. "Itulah pertanyaan yang harus kita jawab. Perjalanan ini tidak mudah, tetapi di sinilah kita menemukan makna hidup."
Ketika pria itu menurunkan batu yarpiz dari tangannya, kilauannya seolah menyinari ruangan. Sebagian orang terlihat menitikkan air mata, sementara yang lain mulai berdiskusi dengan semangat.
Di luar aula, malam perlahan menyelimuti kota. Namun, di dalam hati para hadirin, cahaya yarpiz tetap menyala, membawa mereka pada perjalanan baru yang penuh makna.