Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Yarpiz dan Para Murid di Antiokia

2 Desember 2024   22:11 Diperbarui: 2 Desember 2024   22:50 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. liputan6.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Aula kecil itu penuh sesak oleh orang-orang yang datang dengan harapan dan rasa ingin tahu. Di panggung, seorang pria dengan sorot mata tajam berdiri dengan percaya diri. Di tangannya, tergenggam sebuah batu kecil yang memancarkan kilauan samar. Semua orang menunggu dengan tegang.

"Saudara-saudara," ia membuka pembicaraan, suaranya berat dan tenang, "Saya ingin membahas sesuatu yang jarang dibicarakan, sesuatu yang sering kita abaikan. Sebelum itu, izinkan saya bertanya, apakah ada yang tahu di mana kota Antiokia berada?"

Ruangan sunyi. Beberapa orang saling melirik, sebagian terlihat bingung. Seorang pria muda di barisan belakang memberanikan diri angkat tangan. "Antiokia... Bukankah itu kota di wilayah Kekaisaran Romawi, di Timur Dekat?"

"Benar," jawab pria di panggung sambil tersenyum kecil. "Antiokia adalah salah satu kota besar dalam sejarah. Di sanalah, untuk pertama kalinya, para murid Yesus disebut Kristen."

Bisik-bisik mulai terdengar. Ada yang mencatat, ada yang hanya duduk termenung. Seorang wanita dengan wajah skeptis berdiri dari kursinya. "Maaf, Tuan," katanya dengan nada tajam, "Siapa yang Anda maksud dengan para murid? Dan apa arti sebenarnya dari kata Kristen? Bukankah itu hanya sebuah sebutan yang diberikan orang-orang luar?"

Pria itu memandang wanita tersebut dengan mata tajam, lalu mengangguk pelan. "Pertanyaan yang bagus. Para murid adalah mereka yang mengikuti ajaran Yesus, pria saleh yang dikenal sebagai putra Mariam, wanita Ibrani yang hidup di abad pertama. Dan kata Kristen berasal dari bahasa Yunani, berarti 'pengikut Kristus.'"

Seorang pria tua dengan suara berat menyela dari sudut ruangan. "Tapi, Tuan, bukankah itu sebutan yang dulu digunakan untuk mengejek?"

Pria di panggung tersenyum tipis. "Mungkin. Namun, sebutan itu kemudian menjadi identitas, sebuah simbol keyakinan." Ia mengangkat batu kecil di tangannya. "Sama seperti batu ini, yarpiz. Pernahkah kalian mendengar tentang yarpiz?"

"Tidak!" seru seseorang.

Pria itu melanjutkan, "Yarpiz adalah batu berharga dari kawasan Asia Barat. Dulunya populer di sekitar pegunungan Zagros hingga gurun Dedan, tempat lahir bangsa Arab. Tapi, seperti kata Kristen, nilainya bukan hanya pada wujudnya, tetapi pada apa yang ia wakili."

Seorang pemuda dengan nada sinis menyela, "Apa hubungan batu itu dengan kota Antiokia? Anda hanya ingin menarik perhatian!"

Ruangan mulai riuh. Beberapa orang terlihat gelisah, sementara yang lain menunggu jawaban.

Pria itu tetap tenang. "Hubungannya adalah perjalanan pencarian makna. Seperti para murid di Antiokia yang menemukan identitas baru, yarpiz melambangkan pencarian kita akan keindahan dan kebenaran yang tersembunyi."

Wanita skeptis tadi berdiri lagi, kali ini dengan nada lebih tajam. "Tuan, Anda berbicara tentang simbol, tetapi di mana buktinya? Apa yang sebenarnya Anda ingin sampaikan?"

Pria itu menghela napas panjang, lalu menatap audiens dengan sorot yang dalam. "Bukti ada pada kita. Pertanyaan saya sederhana: Apakah kita, seperti para murid di Antiokia, siap menerima identitas yang membawa tanggung jawab besar? Apakah kita siap mencari yarpiz kita masing-masing, atau kita lebih memilih tinggal dalam kebingungan dan prasangka?"

Suasana kembali hening. Wanita itu duduk, kali ini dengan ekspresi penuh renungan.

Dari barisan depan, seorang pria tua berdiri, suaranya gemetar namun jelas. "Aku mengerti sekarang. Kita semua punya yarpiz. Tapi, apakah kita cukup berani untuk mencarinya?"

Pria di panggung tersenyum hangat. "Itulah pertanyaan yang harus kita jawab. Perjalanan ini tidak mudah, tetapi di sinilah kita menemukan makna hidup."

Ketika pria itu menurunkan batu yarpiz dari tangannya, kilauannya seolah menyinari ruangan. Sebagian orang terlihat menitikkan air mata, sementara yang lain mulai berdiskusi dengan semangat.

Di luar aula, malam perlahan menyelimuti kota. Namun, di dalam hati para hadirin, cahaya yarpiz tetap menyala, membawa mereka pada perjalanan baru yang penuh makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun