Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sate Ayam

2 Desember 2024   17:19 Diperbarui: 2 Desember 2024   18:05 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sate ayam. dokpri

Pria itu terdiam. Tetapi rasa marahnya masih belum hilang. "Jangan berpura-pura merendah, Pak! Kami semua tahu Anda berkuasa. Jangan biarkan kami merasa lebih rendah!"

Namun, sebelum Soekarno bisa membalas, penjual sate yang sebelumnya diam, kini angkat bicara. "Pak, saya tahu siapa Bapak, dan saya tahu sejarah kita. Saya dulu ikut berjuang di bawah perintah para pejuang kemerdekaan, dan saya tahu betul apa artinya kemerdekaan bagi kita semua. Bapak adalah presiden kami, tapi Bapak tak pernah membedakan diri dari kami."

Soekarno tersenyum mendengar kata-kata penjual sate itu. "Lihat, bahkan orang seperti Pak Sate ini pun paham betul tentang perjuangan. Inilah Indonesia yang kita dambakan---sederhana, bersama, dan tak ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain."

Pria yang marah itu terdiam, tak tahu harus berkata apa. Wajahnya berubah, seketika hatinya tersentuh. Ia mundur, merasa malu dengan sikapnya sendiri. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu.

Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu mulai berbisik, terkejut dengan ketenangan dan kebijaksanaan Soekarno. Beberapa bahkan mulai bertepuk tangan, kagum akan sikap rendah hati sang Presiden.

Namun, ketika Soekarno hendak bangkit, seseorang yang baru saja mendekat terkejut. "Pak! Itu sate saya! Saya yang pesan untuk makan sore ini!" seru seorang pemuda yang datang tergesa-gesa.

Soekarno menatapnya dengan tenang, lalu tertawa kecil. "Kamu boleh makan sisa-sisa sate saya, Nak, jangan khawatir. Saya sudah kenyang, dan ini bukan hanya tentang makanan, ini tentang merasakan kebebasan."

Dan saat itulah, dari kejauhan, suara kerumunan terdengar lebih ramai. Beberapa orang mulai berlarian menuju warung sate, dan Soekarno, dengan senyuman yang menenangkan, berjalan meninggalkan tempat itu. Sementara, pemuda yang awalnya kecewa justru merasa bangga, karena bisa berbagi momen bersejarah dengan Presiden.

Soekarno, dengan penuh wibawa, berjalan menuju rumahnya. Tetapi tidak ada mobil mewah yang menjemputnya---hanya langkah kaki yang tegap, membawa harapan baru untuk bangsa ini.

Hari itu, Indonesia tidak hanya melihat seorang presiden yang bijaksana dan berwibawa, tetapi juga seorang pemimpin yang sangat manusiawi---seorang yang tidak takut untuk merendahkan diri demi kemajuan bersama. Dan bagi mereka yang menyaksikan, itu adalah pelajaran berharga tentang kepemimpinan sejati, yang tidak memandang pangkat, hanya melihat rakyat dengan hati yang tulus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun