Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sate Ayam

2 Desember 2024   17:19 Diperbarui: 2 Desember 2024   18:05 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sate ayam. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

18 Agustus 1945, udara Jakarta terasa terik. Di Gedung Cuo Sangi In, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) baru saja selesai. Keputusan yang sangat penting telah diambil---Indonesia merdeka! Soekarno, yang duduk dengan wibawa, telah dipilih sebagai Presiden pertama. Sorakan bergema, namun Soekarno tetap tenang, menyadari beban yang kini dipikulnya.

Setelah rapat selesai, Soekarno melangkah keluar dari gedung. Tak ada mobil mewah yang menunggunya, tak ada iring-iringan kendaraan resmi. Tanpa rasa canggung, ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Tidak ada yang mengira, di tengah momen bersejarah ini, presiden pertama Indonesia akan melalui jalan yang begitu sederhana.

Di tengah perjalanan, perut Soekarno mulai terasa lapar. Ia berhenti di sebuah warung sate ayam kecil di tepi jalan. Seorang penjual sate, yang baru saja membuka lapaknya, terkejut melihatnya.

"Pak, sate ayamnya lima tusuk saja?" tanya si penjual dengan tersenyum ramah, tak menyadari siapa yang sedang berdiri di depannya.

Soekarno tersenyum lebar. "Ambil 50 tusuk, saya sangat lapar," jawabnya dengan suara tegas namun bersahaja.

Si penjual pun terbelalak. "Lima puluh tusuk, Pak?" tanyanya, sedikit bingung, tetapi segera menyiapkan pesanan tersebut.

Soekarno duduk di tepi jalan, tepat di sebelah got yang berdebu, tanpa rasa sungkan. Ia menikmati sate ayam itu dengan lahap, berjongkok di pinggir jalan, seolah tak ada yang istimewa. Suasana sekelilingnya pun mulai berubah---orang-orang yang lewat mulai melirik, beberapa berhenti dan terheran-heran melihat Presiden mereka begitu sederhana.

Di saat yang sama, seorang lelaki berbadan tegap muncul di antara kerumunan. Wajahnya penuh amarah, dan langkahnya cepat. Pria itu adalah seorang mantan pejuang yang kini merasa kecewa dengan keadaan negara yang baru merdeka. Dia mendekati Soekarno dengan suara keras, "Presiden! Anda sudah merdeka! Tidak seharusnya Anda makan seperti ini! Anda harus menunjukkan diri lebih besar dari rakyat! Mengapa harus duduk di sini, di tepi got?"

Semua mata tertuju pada mereka. Soekarno berhenti makan sejenak dan menatap pria itu dengan tenang. "Kau benar, saya adalah Presiden, dan saya harus memberi contoh. Tapi saya bukan orang yang lebih besar dari rakyat. Justru, saya ingin merasakan hidup seperti mereka. Inilah yang disebut kebebasan---bukan hanya kebebasan negara, tetapi kebebasan hidup sebagai manusia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun