OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di bawah rindangnya pohon beringin tua, Wira berhenti, menghapus keringat yang menetes di dahinya. Perjalanannya kembali ke desa ini adalah pilihan terakhir setelah semua usahanya di kota gagal. Namun, ia tidak menyangka betapa sepinya desa yang dulu ramai dengan suara anak-anak dan tawa penduduk. Di tepi jalan, gentong air sederhana berdiri seperti saksi bisu, menawarkan kesegaran kepada siapa pun yang membutuhkan.
Wira menyesap air dari gayung tempurung kelapa, merasakan kesegaran yang menenangkan. Namun, pikirannya tetap gelisah. Bagaimana ia akan memulai kembali hidupnya di tempat yang terlihat mati seperti ini?
"Kowe lelah, Le?" Suara tua namun ramah membuyarkan lamunannya.
Wira menoleh dan mendapati seorang kakek dengan tongkat kayu berdiri tak jauh darinya. "Mampirlah ke rumah, Le. Ora usah sungkan."
Wira mengikuti langkah kakek itu ke sebuah rumah kecil di dekat gentong. Rumah itu sederhana, tapi bersih dan rapi. Di meja kayu, kakek itu menyuguhkan teh hangat.
"Kek," kata Wira setelah beberapa saat, "Kenapa njenengan masih menyediakan gentong air di tepi jalan? Bukankah orang-orang sudah jarang lewat?"
Kakek itu tersenyum bijak. "Urip iku mung mampir ngombe, Le. Kita tidak tahu siapa yang akan lewat. Meski sedikit, kita harus tetap memberi."
Wira tertegun. Namun, sebelum ia sempat menjawab, kakek itu melanjutkan, "Tapi sekarang gentong itu bisa jadi lebih penting dari sebelumnya. Desa kita sedang kekeringan. Gentong itu jadi satu-satunya tempat warga mendapatkan air bersih."
Kata-kata itu menggema di kepala Wira. Kekeringan? Ia baru menyadari betapa sunyinya desa ini karena para warga sibuk mencari air di tempat lain.
Hari-hari berikutnya, Wira menyaksikan sendiri tantangan yang dihadapi desa. Warga harus berjalan bermil-mil untuk mendapatkan air, sementara sawah-sawah mengering dan anak-anak terlihat lemah. Namun, gentong milik kakek selalu penuh.
"Kek, dari mana air ini?" tanya Wira suatu hari.
Kakek itu tersenyum tipis. "Aku mengambilnya dari sumur kecil di belakang rumah, Le. Tapi aku sudah tua, tenagaku tidak cukup untuk terus mengisi gentong itu."
Wira merasa tersentuh. Dengan tekad baru, ia mulai membantu kakek mengisi gentong setiap hari. Ia bahkan mengajak beberapa anak muda desa untuk bergabung. Meski awalnya skeptis, warga mulai melihat dedikasi Wira.
Namun, cobaan datang ketika sumur kecil di belakang rumah kakek mulai mengering. Suatu malam, kakek jatuh sakit karena kelelahan, tapi ia tetap tersenyum. "Le, teruskan ini. Air bukan hanya untuk diminum, tapi juga untuk membangun harapan."
Keesokan harinya, kakek wafat. Desa berduka, tapi Wira tahu ia harus melanjutkan pesan kakek.
Wira menggali sumur baru di desa, dibantu oleh pemuda-pemuda lainnya. Ia juga membuat gentong-gentong tambahan di berbagai titik desa. Setiap gentong dihiasi ukiran nama kakek sebagai simbol warisan hidupnya.
Ketika musim hujan tiba, desa itu kembali hidup. Air mengalir ke sawah-sawah, anak-anak kembali bermain, dan suara tawa kembali terdengar. Wira, yang dulu merasa hidupnya sia-sia, kini menjadi pemimpin tak resmi yang dihormati.
Di depan gentong pertama, Wira menatap ukiran itu: "Urip iku mung mampir ngombe." Air mata mengalir di pipinya, bukan karena kesedihan, tetapi rasa syukur.
Hidup memang singkat, pikir Wira. Tapi jika kita bisa menjadi seperti gentong kecil itu---memberi manfaat walau hanya seteguk air---hidup ini akan berarti.
Hidup bukan hanya tentang perjalanan kita sendiri, tapi juga tentang berapa banyak orang yang bisa kita beri minum di sepanjang jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H