Hari-hari berikutnya, Wira menyaksikan sendiri tantangan yang dihadapi desa. Warga harus berjalan bermil-mil untuk mendapatkan air, sementara sawah-sawah mengering dan anak-anak terlihat lemah. Namun, gentong milik kakek selalu penuh.
"Kek, dari mana air ini?" tanya Wira suatu hari.
Kakek itu tersenyum tipis. "Aku mengambilnya dari sumur kecil di belakang rumah, Le. Tapi aku sudah tua, tenagaku tidak cukup untuk terus mengisi gentong itu."
Wira merasa tersentuh. Dengan tekad baru, ia mulai membantu kakek mengisi gentong setiap hari. Ia bahkan mengajak beberapa anak muda desa untuk bergabung. Meski awalnya skeptis, warga mulai melihat dedikasi Wira.
Namun, cobaan datang ketika sumur kecil di belakang rumah kakek mulai mengering. Suatu malam, kakek jatuh sakit karena kelelahan, tapi ia tetap tersenyum. "Le, teruskan ini. Air bukan hanya untuk diminum, tapi juga untuk membangun harapan."
Keesokan harinya, kakek wafat. Desa berduka, tapi Wira tahu ia harus melanjutkan pesan kakek.
Wira menggali sumur baru di desa, dibantu oleh pemuda-pemuda lainnya. Ia juga membuat gentong-gentong tambahan di berbagai titik desa. Setiap gentong dihiasi ukiran nama kakek sebagai simbol warisan hidupnya.
Ketika musim hujan tiba, desa itu kembali hidup. Air mengalir ke sawah-sawah, anak-anak kembali bermain, dan suara tawa kembali terdengar. Wira, yang dulu merasa hidupnya sia-sia, kini menjadi pemimpin tak resmi yang dihormati.
Di depan gentong pertama, Wira menatap ukiran itu: "Urip iku mung mampir ngombe." Air mata mengalir di pipinya, bukan karena kesedihan, tetapi rasa syukur.
Hidup memang singkat, pikir Wira. Tapi jika kita bisa menjadi seperti gentong kecil itu---memberi manfaat walau hanya seteguk air---hidup ini akan berarti.
Hidup bukan hanya tentang perjalanan kita sendiri, tapi juga tentang berapa banyak orang yang bisa kita beri minum di sepanjang jalan.