Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Lahir yang Tak Pernah Selesai

2 Desember 2024   11:40 Diperbarui: 2 Desember 2024   13:34 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah aula tua yang dihiasi lampu kristal seperti bintang-bintang, suasana panas mulai terasa. Orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul, memperdebatkan satu hal: "Kapan hari lahir kota kita?"

Pertanyaan itu bukan tentang seorang manusia, melainkan tentang kota bernama Dharma Wicaksana. Sebagian orang percaya kota itu lahir dari sejarah panjang, sementara yang lain bersikukuh pada tanggal resmi yang dicatat pemerintah.

"Prasasti Sagara jelas menyebutkan bahwa kota ini sudah ada sejak abad ke-9," tegas seorang sejarawan sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas buku tebal. "Kita punya bukti arkeologis bahwa pelabuhan besar berdiri di sini lebih dari seribu tahun lalu."

Seorang pejabat pemerintah memotong. "Tapi secara hukum, Dharma Wicaksana baru menjadi kota pada tahun 1950. Itu fakta yuridis. Kita tak bisa mengabaikan keputusan formal."

Perdebatan memanas. Suara-suara saling bertabrakan, penuh emosi dan argumen. Seorang budayawan menambahkan, "Kalau kita melupakan akar sejarah, kita kehilangan jati diri!" Di sisi lain, ekonom muda berbisik, "Tanpa aturan modern, kota ini tak akan bertahan."

Di tengah keributan itu, seorang anak kecil yang duduk di pojok aula berdiri. Dengan wajah polos tapi penuh keberanian, dia berkata, "Kalian ribut soal kapan kota ini lahir, tapi apa kalian peduli bagaimana kita merawatnya sekarang?"

Ruangan mendadak sunyi. Kata-kata sederhana itu seperti petir di siang bolong. Semua mata tertuju pada anak itu, cucu dari seorang tokoh masyarakat setempat.

Sejarawan itu terdiam, memandangi bukunya. Pejabat modern menunduk, tampak merenung. Tak ada yang berbicara.

"Dia benar," akhirnya kata seorang tokoh adat. "Hari lahir itu penting, tapi jauh lebih penting apa yang kita lakukan untuk kota ini hari ini."

Seorang pemuda tiba-tiba melangkah ke depan membawa pohon kecil dalam pot. "Kalau kita mau kota ini hidup seribu tahun lagi, mari kita mulai sekarang. Menanam bukan hanya pohon, tapi juga harapan dan masa depan."

Tanpa aba-aba, semua peserta rapat keluar dari aula. Mereka menuju taman kota, membawa bibit pohon, bunga, dan sapu yang ada di sekitar mereka. Tua-muda, pejabat, sejarawan, hingga anak-anak bekerja bersama.

Matahari terbenam saat pohon pertama ditanam di tanah. Bayangan mereka bersatu, menciptakan siluet yang indah. Hari itu, mereka tidak sepakat soal tanggal lahir kota, tapi mereka sepakat pada satu hal: mencintai kota ini dengan tindakan nyata.

Sejak saat itu, peringatan hari lahir Dharma Wicaksana bukan lagi tentang tanggal atau dokumen, melainkan tentang aksi kolektif yang memperkuat kota dan warganya. Mereka akhirnya paham, seperti Pancasila yang sering mereka dengungkan, makna sejati terletak bukan pada kapan ia lahir, melainkan bagaimana ia dihidupi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun