Seorang pemuda tiba-tiba melangkah ke depan membawa pohon kecil dalam pot. "Kalau kita mau kota ini hidup seribu tahun lagi, mari kita mulai sekarang. Menanam bukan hanya pohon, tapi juga harapan dan masa depan."
Tanpa aba-aba, semua peserta rapat keluar dari aula. Mereka menuju taman kota, membawa bibit pohon, bunga, dan sapu yang ada di sekitar mereka. Tua-muda, pejabat, sejarawan, hingga anak-anak bekerja bersama.
Matahari terbenam saat pohon pertama ditanam di tanah. Bayangan mereka bersatu, menciptakan siluet yang indah. Hari itu, mereka tidak sepakat soal tanggal lahir kota, tapi mereka sepakat pada satu hal: mencintai kota ini dengan tindakan nyata.
Sejak saat itu, peringatan hari lahir Dharma Wicaksana bukan lagi tentang tanggal atau dokumen, melainkan tentang aksi kolektif yang memperkuat kota dan warganya. Mereka akhirnya paham, seperti Pancasila yang sering mereka dengungkan, makna sejati terletak bukan pada kapan ia lahir, melainkan bagaimana ia dihidupi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H