Kehadiran relawan yang menyediakan logistik gratis mencerminkan nilai gotong-royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Menurut teori social capital oleh Robert Putnam, kegiatan seperti ini memperkuat jaringan sosial yang dapat meningkatkan kepercayaan dan kerja sama antarindividu.
Namun, di sisi lain, beberapa pihak mengkhawatirkan potensi eksklusivitas acara yang dapat memperdalam kesenjangan antar kelompok. Oleh karena itu, narasi yang dibangun dalam acara ini perlu bersifat inklusif dan mengedepankan persatuan bangsa.
Perspektif Politik
Kehadiran tokoh-tokoh nasional dan undangan kepada pejabat negara seperti Presiden Prabowo Subianto menempatkan Reuni 212 sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi politik. Hal ini menunjukkan bahwa acara ini bukan hanya pertemuan keagamaan, tetapi juga platform untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap penting oleh peserta.
Namun, dalam konteks politik, kegiatan ini perlu diatur agar tidak menjadi alat polarisasi masyarakat. Mengingat situasi politik Indonesia yang sensitif, penyelenggara harus memastikan bahwa pesan yang disampaikan mendukung stabilitas politik dan tidak memperburuk fragmentasi sosial.
Perspektif Ekonomi
Dampak ekonomi dari Reuni 212 tidak bisa diabaikan. Kehadiran ribuan peserta memberikan peluang ekonomi bagi UMKM di sekitar Monas, seperti pedagang makanan, minuman, dan perlengkapan ibadah.
Data empiris menunjukkan bahwa kegiatan massal semacam ini dapat meningkatkan pendapatan UMKM lokal hingga 30% pada hari pelaksanaannya (Sumber: Studi Ekonomi Lokal, 2020).
Namun, dampak positif ini harus diimbangi dengan pengelolaan anggaran untuk fasilitas umum, seperti keamanan, kebersihan, dan pengaturan lalu lintas, agar tidak membebani pemerintah daerah.
Perspektif Kritik
Meskipun memiliki banyak manfaat, Reuni 212 juga mendapat kritik terkait efektivitasnya dalam membawa perubahan nyata bagi masyarakat. Beberapa pihak menilai acara ini lebih cenderung menjadi simbol solidaritas daripada wadah solusi konkret untuk permasalahan bangsa.