Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak di Lereng Merapi

2 Desember 2024   03:11 Diperbarui: 2 Desember 2024   03:20 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi certita. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pagi itu, langit di lereng Merapi berselimut kabut tipis, menambah aura misteri perjalanan Ponco dan Silo. Dengan helm dan jaket tebal, mereka menaiki jip yang siap membawa mereka menjelajahi medan penuh tantangan di Merapi Lava Tour.

"Ayo, Ponco, jangan kaku begitu. Merapi ini seperti buku sejarah hidup," ujar Silo dengan semangat.

"Yah, semoga perjalanan ini bukan hanya sekadar rekreasi, tapi ada pelajaran yang bisa kita bawa pulang," sahut Ponco sambil mengencangkan sabuk pengaman.

Setelah melintasi jalanan berbatu yang terjal, jip berhenti di sebuah bunker. Pemandu menjelaskan bahwa bunker itu adalah saksi bisu letusan Merapi yang dahsyat, namun perhatian Ponco dan Silo tertarik pada sebuah jalan setapak kecil di sisi bunker.

"Aku penasaran ke mana jalan itu membawa," bisik Ponco.

Tanpa menunggu, mereka mengikuti jalan itu, hingga sampai di sebuah area yang sunyi. Pohon-pohon besar melingkupi tempat itu, seolah melindungi sesuatu yang berharga. Di tengah, sebuah lempengan batu besar berukir simbol-simbol kuno tertanam di tanah.

Silo mengamati lempengan itu dengan saksama. "Ponco, lihat! Simbol ini mirip dengan gambar relief di Candi Borobudur. Apa ini peninggalan nenek moyang kita?"

Ponco menunduk, tangannya menyentuh permukaan lempengan yang terasa hangat. "Seolah-olah ini masih hidup... tapi bagaimana bisa?"

Tiba-tiba, gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah di bawah kaki mereka bergetar. Mereka melangkah mundur saat sebuah sosok muncul dari balik pohon.

Seorang pria tua dengan tongkat kayu berdiri, tatapannya tajam. "Apa yang kalian cari di sini?"

"Kami hanya ingin tahu, Pak. Kami tidak bermaksud mengganggu," jawab Silo dengan suara gemetar.

Pria itu mendekat, suaranya rendah namun penuh wibawa. "Ini bukan tempat untuk sekadar ingin tahu. Ini adalah penjaga rahasia alam, simbol kekuatan yang harus dihormati."

Ponco dan Silo saling pandang, bingung tapi penasaran. "Apa artinya itu, Pak?" tanya Ponco.

Pria tua itu menghela napas panjang. "Lempengan ini adalah pengingat. Alam ini tidak akan tinggal diam jika manusia terus serakah. Kalian dua orang yang berbeda latar belakang, tapi lihatlah, kalian sama-sama peduli pada Pancasila, persatuan, dan kehidupan. Gunakan itu untuk menjaga keseimbangan, bukan merusaknya."

Sebelum mereka bisa menjawab, gemuruh semakin keras. Pria itu memberi mereka kantong kecil berisi segenggam tanah hitam. "Pergilah sekarang. Bawa ini sebagai tanda, tapi ingat, tugas kalian baru dimulai."

Jip mereka menjemput dengan terburu-buru. Sopir memarahi mereka karena meninggalkan rombongan tanpa izin. Namun, baik Ponco maupun Silo tidak berbicara sepanjang perjalanan kembali. Kantong kecil itu terasa berat, lebih dari sekadar tanah biasa.

Malam itu, Ponco menulis di blognya, membagikan pengalaman mereka tanpa menyebutkan detail lokasi. "Merapi bukan hanya gunung. Ia adalah guru, penjaga, dan peringatan. Kitalah yang harus memilih: menjadi pelindung atau perusak."

Namun, tak lama setelah artikel itu tayang, berita mengejutkan muncul: gempa kecil melanda lereng Merapi, mengungkap jaringan gua besar di bawah tanah, penuh dengan artefak kuno yang menceritakan harmoni manusia dengan alam.

Silo memandang Ponco dengan tatapan penuh makna. "Kamu tahu, Ponco? Ini baru awal."

Ponco mengangguk, menatap lempengan tanah hitam di mejanya. "Ya, dan tugas kita belum selesai."

Ternyata, kantong tanah itu bukan sekadar simbol. Saat disimpan di dekat jendela, tanaman-tanaman di sekitar rumah Ponco tumbuh subur, seolah mendapat kekuatan misterius. Apa sebenarnya yang telah mereka bawa pulang dari Merapi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun