Seorang pria tua dengan tongkat kayu berdiri, tatapannya tajam. "Apa yang kalian cari di sini?"
"Kami hanya ingin tahu, Pak. Kami tidak bermaksud mengganggu," jawab Silo dengan suara gemetar.
Pria itu mendekat, suaranya rendah namun penuh wibawa. "Ini bukan tempat untuk sekadar ingin tahu. Ini adalah penjaga rahasia alam, simbol kekuatan yang harus dihormati."
Ponco dan Silo saling pandang, bingung tapi penasaran. "Apa artinya itu, Pak?" tanya Ponco.
Pria tua itu menghela napas panjang. "Lempengan ini adalah pengingat. Alam ini tidak akan tinggal diam jika manusia terus serakah. Kalian dua orang yang berbeda latar belakang, tapi lihatlah, kalian sama-sama peduli pada Pancasila, persatuan, dan kehidupan. Gunakan itu untuk menjaga keseimbangan, bukan merusaknya."
Sebelum mereka bisa menjawab, gemuruh semakin keras. Pria itu memberi mereka kantong kecil berisi segenggam tanah hitam. "Pergilah sekarang. Bawa ini sebagai tanda, tapi ingat, tugas kalian baru dimulai."
Jip mereka menjemput dengan terburu-buru. Sopir memarahi mereka karena meninggalkan rombongan tanpa izin. Namun, baik Ponco maupun Silo tidak berbicara sepanjang perjalanan kembali. Kantong kecil itu terasa berat, lebih dari sekadar tanah biasa.
Malam itu, Ponco menulis di blognya, membagikan pengalaman mereka tanpa menyebutkan detail lokasi. "Merapi bukan hanya gunung. Ia adalah guru, penjaga, dan peringatan. Kitalah yang harus memilih: menjadi pelindung atau perusak."
Namun, tak lama setelah artikel itu tayang, berita mengejutkan muncul: gempa kecil melanda lereng Merapi, mengungkap jaringan gua besar di bawah tanah, penuh dengan artefak kuno yang menceritakan harmoni manusia dengan alam.
Silo memandang Ponco dengan tatapan penuh makna. "Kamu tahu, Ponco? Ini baru awal."
Ponco mengangguk, menatap lempengan tanah hitam di mejanya. "Ya, dan tugas kita belum selesai."