OLEH: Khoeri Abdul Muid
Yogya sore itu dipenuhi oleh awan kelabu yang berat, seolah ingin melepaskan hujan kapan saja. Angin menggoyangkan dedaunan, menciptakan suara yang tenang tapi terasa menekan. Weekend ini, akhirnya kami bisa basuo---ziarah sekaligus kulineran---setelah lama hanya berbincang lewat grup WhatsApp. Namun, tetap saja minus satu anggota: Mbak Lilis.
"Aduh, tanpa Mbak Lilis, ini jadi terasa nggak lengkap," ujar Dina, sambil menyeruput teh hangat. "Tapi, basuo tetap kudu heboh, kan?"
Tawa kecil pecah. Di tengah cerianya, Bank Arman yang mulutnya tajam itu langsung mencela, "Eh, ini warteg rasa bule, ya! Tapi nggak ngenyangin. Guv' tuh, anak Betawi---tanpa nasi, hidup nggak bisa!" Suaranya seperti biasa, penuh canda.
Semua tertawa, kecuali Dina. Tiba-tiba, wajahnya berubah serius. "Mbak Lilis kecelakaan tadi siang," katanya pelan, seperti masih tak percaya dengan berita yang baru didengarnya.
Ruangan yang semula riuh pun berubah sunyi. Sendok yang kupegang jatuh ke meja, bunyinya memecah keheningan yang mencekam. Aku menatap Dina dengan pandangan kosong. "Kecelakaan?" tanyaku, meski tidak yakin apa yang sedang aku dengar.
Dina menggelengkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. "Dia... meninggal."
Waktu seperti berhenti berjalan. Hujan yang menetes di luar seakan mengiringi kesedihan kami. Bank Arman, yang biasanya penuh canda, kini terbata, berusaha keras meyakinkan dirinya sendiri. "Mungkin cuma luka ringan... kan? Mungkin dia baik-baik aja..."
Namun, Dina meraih tas kecilnya, membuka amplop yang terlihat usang. "Ini, aku terima tadi pagi," katanya sambil menyerahkan amplop itu padaku. "Kurir bilang, Mbak Lilis nitip pesan buat kita."
Aku membuka amplop itu dengan tangan yang gemetar. Di dalamnya, tertulis surat tangan dengan tulisan khas Mbak Lilis:
"Gaes, aku sudah lama pengen ketemu kalian. Tapi aku nggak tahu kapan sempat. Kalau kalian jadi kumpul, coba mampir Omah Western. Aku nitip kejutan kecil buat kalian di sana. Nikmati ya. Kangen banget sama kalian. -- Mbak Lilis"
Tubuhku terasa kaku. Di balik kebahagiaan yang seharusnya kami rasakan, terselip rasa sakit yang mendalam. Arman menunduk, matanya memerah, berusaha tersenyum walau air mata sudah membasahi pipinya. "Jadi, dia yang nyaranin kita ke sini?" tanyanya lirih.
Seperti menjawab pertanyaan itu, seorang pelayan datang membawa sepiring kue kecil dengan lilin di atasnya. "Ini titipan dari pelanggan kami beberapa hari lalu," katanya sambil tersenyum simpul. "Katanya untuk teman-temannya yang makan di sini hari ini."
Kue itu tampak sederhana, namun lilinnya yang menyala pelan menyiratkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Dina terdiam sejenak, menatap kue itu seperti sedang mencari jawaban. "Kue ini... dari Mbak Lilis, ya?" katanya, suaranya bergetar. "Dia tahu kita bakal datang."
Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut kami. Hujan semakin deras, memercikkan air ke jendela, mengisi ruang yang kini terasa hampa. Dalam keheningan itu, kenangan tentang Mbak Lilis menyeruak begitu saja. Teringat ketika kami semua masih sering berkumpul, tertawa hingga lupa waktu, Mbak Lilis selalu menjadi pengikat kami. Tanpa dia, rasanya ada yang hilang.
Aku teringat kata-kata Mbak Lilis yang sering mengingatkan kami: "Jangan sampai kalian menyesal nggak pernah berkata sampai jumpa, atau tidak pernah punya waktu untuk kenangan bersama."
Aku mengangkat gelas teh yang sudah hampir dingin, mencoba menenangkan diri. "Mbak Lilis... dia sudah meninggalkan kenangan yang sangat berarti untuk kita semua," bisikku, lebih kepada diriku sendiri daripada orang lain.
Mata kami semua tertuju pada lilin kecil di atas kue yang mulai hampir padam. Seolah menjadi simbol perpisahan yang tak terucapkan. Rasa kehilangan itu tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hujan di luar masih jatuh deras, tapi di dalam, kami merasa sepi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H