Ponco: Wah, pasti panas, ya, Kak. Lalu, gimana mereka akhirnya memutuskan?
Silo: Awalnya, dalam sidang BPUPKI, pada 22 Juni 1945, dirumuskan Piagam Jakarta. Piagam ini memuat sila pertama berbunyi, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tapi setelah proklamasi, ada keberatan dari perwakilan wilayah-wilayah Indonesia Timur yang mayoritas non-Muslim.
Ponco: Keberatan karena apa, Kak?
Silo: Mereka merasa frasa "kewajiban menjalankan syariat Islam" kurang mencerminkan keberagaman bangsa. Akhirnya, untuk menjaga persatuan nasional, melalui musyawarah di sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, disepakati perubahan sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ponco: Jadi, itu semacam kompromi, ya?
Silo: Betul sekali, Ponco. Kompromi ini adalah cerminan semangat musyawarah untuk mufakat, salah satu nilai yang mendasari Pancasila. Meskipun ada perbedaan pendapat yang tajam, para pendiri bangsa memilih persatuan di atas kepentingan golongan.
Ponco: Selain sila pertama, apa ada lagi perdebatan yang besar?
Silo: Ada, tapi tidak seintens perdebatan tentang sila pertama. Sebagian besar tokoh sepakat dengan nilai-nilai seperti kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, karena itu memang sudah mencerminkan nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Namun, ada juga diskusi tentang bagaimana menjelaskan prinsip-prinsip ini dengan bahasa yang bisa diterima semua pihak.
Ponco: Wah, aku nggak nyangka ternyata prosesnya panjang dan rumit banget. Tapi Kak, kenapa mereka bisa tetap sepakat meskipun beda pendapat?
Silo: Karena mereka punya visi bersama, Ponco: membangun negara yang merdeka, bersatu, dan adil untuk semua rakyat. Mereka tahu bahwa perpecahan hanya akan merugikan perjuangan kemerdekaan. Semangat kebersamaan dan saling menghormati inilah yang akhirnya membawa mereka pada konsensus.
Ponco: Aku jadi paham kenapa Pancasila itu disebut "penyatu bangsa". Proses pembentukannya aja udah mencerminkan persatuan.