Tiba-tiba, Jayakusuma datang dan melihat pemandangan itu. Amarahnya memuncak.
"Suli! Sekeber! Apa yang kalian lakukan?!" bentaknya keras.
Sekeber dengan tegas menjawab, "Tuan Adipati, saya tidak berniat melawan. Suli adalah belahan jiwa saya. Izinkan saya membawa Suli dan anak-anak kami pergi. Saya bersumpah tidak akan mengganggu negeri ini."
Namun, Jayakusuma menghunus kerisnya dengan mata penuh dendam.
"Aku tidak akan membiarkanmu hidup, Sekeber!" serunya sambil menusukkan keris ke dada Sekeber.
Sekeber terjatuh, namun sempat berkata dengan napas tersengal, "Tuan Jayakusuma, jika suatu hari muncul seekor kuda yang gagah, beri nama ia Kuda Juru Taman... Suli, maafkan aku... aku titip anak-anak kita..."
Melihat itu, Suli meraih keris Jayakusuma dan menusukkan ke tubuhnya sendiri.
"Mas Sekeber, aku akan ikut denganmu!" jerit Suli.
Jayakusuma terkejut, namun terlambat menghentikannya.
"Suli!" pekiknya.
Sirwenda dan Danurwenda menangis ketakutan.
"Kak, ayo kita pergi!" ajak Sirwenda sambil menarik adiknya menjauh dari tempat itu.
"Tunggu aku, Kak!" balas Danurwenda sambil berlari mengejarnya.
Jayakusuma hanya bisa menatap nanar, menyesali semua yang telah terjadi.
"Sirwenda, Danurwenda... maafkan aku..." bisiknya dengan hati hancur.
BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H