Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Baron Sekeber [08]: Pertemuan Pertama sekaligusTerakhir

30 November 2024   04:25 Diperbarui: 30 November 2024   03:58 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Baron Sekeber [08]: Pertemuan Pertama sekaligus Terakhir. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

"Kakak, ayo berlatih bela diri seperti yang diajarkan oleh Pak Juru Taman!" tantang Danurwenda kepada kakaknya, Sirwenda.
"Baiklah, ayo! Tapi, janji ya, kalau terpukul atau tertendang, jangan menangis."
"Janji, Kak," jawab Danurwenda sambil tersenyum. Mereka pun mengaitkan kelingking dan tos, sebelum mulai latihan penuh semangat.

Di sudut taman, Sekeber, sang juru taman istana Pati, memperhatikan mereka dengan penuh perhatian. Ia adalah guru bela diri Sirwenda dan Danurwenda, yang sudah akrab dengan mereka. Melihat keduanya berlatih, Sekeber pun berseru, "Ayo, terus semangat! Jangan lupa tangkis dan hindar!"

Setelah beberapa lama, Sekeber menghentikan latihan.
"Cukup, cukup untuk hari ini. Kalian sudah menunjukkan banyak kemajuan. Besok, aku akan mengajarkan teknik tendangan yang lebih hebat. Bagaimana, mau?"
"Tentu saja, Pak! Saya ingin menjadi kuat dan pintar seperti Anda!" seru Sirwenda.
"Pak Juru Taman itu orang yang baik. Kalau melatih, sabar sekali. Kak, bagaimana kalau kita kenalkan beliau pada Ibu? Nanti kita minta Ibu memberi hadiah," usul Danurwenda.
"Setuju, ayo kita ajak Ibu sekarang!" tandas Sirwenda sambil menggandeng tangan adiknya.
"Pak, tunggu di sini dulu ya, kami akan kembali bersama Ibu!"

Sekeber hanya tersenyum kecil, kemudian melanjutkan pekerjaannya menyapu taman. Dalam hati, ia bergumam, "Anak-anak ini... mereka begitu melekat di hatiku. Wajah mereka, kulit, dan rambut mereka... semua mengingatkanku pada diriku sendiri. Apakah mereka adalah anak-anakku?"

Di dalam kaputren, Sirwenda dan Danurwenda menarik tangan Suli, ibu mereka.
"Ibu, ayo ikut kami! Kami ingin mengenalkan seseorang yang sangat baik kepada Ibu!"
"Sabar, anak-anak. Siapa yang kalian maksud?" tanya Suli dengan lembut.
"Pak Juru Taman, Bu! Beliau pintar dan sabar! Ibu harus memberi beliau hadiah," tambah Danurwenda.

Sesampainya di taman, mereka menemukan Sekeber sedang menyapu. Sirwenda berteriak, "Pak Juru Taman, ini Ibu kami!"
Namun, Sekeber tetap membelakangi mereka. Danurwenda mendekatinya, memegang lengannya, dan memutar tubuhnya menghadap Suli.
"Hahhh?!" Suli terkejut saat melihat wajah Sekeber. "Mas Sekeber?! Oh, Mas Sekeber!"

Suli langsung berlari dan memeluk Sekeber erat.
"Suli!" Sekeber balas memeluknya dengan mata berkaca-kaca.
"Mas, kenapa kamu tidak pernah mencari aku dan anak-anak kita?" isak Suli.
"Keadaanlah yang memisahkan kita, Suli. Aku tidak pernah menyalahkanmu meski kau kini menjadi istri Kanjeng Adipati Jayakusuma."

Sirwenda dan Danurwenda mendekat dengan raut bingung.
"Ibu, kenapa Ibu memeluk Pak Juru Taman?" tanya Sirwenda heran.
"Sirwenda, Danurwenda, dengarkan Ibu. Pak Juru Taman ini sesungguhnya adalah Mas Sekeber... ayah kandung kalian!" ungkap Suli dengan suara bergetar.

Mata Sekeber berkaca-kaca. Ia memeluk Sirwenda dan Danurwenda dengan penuh rasa bangga.
"Kalian adalah darah dagingku. Aku ayah kalian!" katanya penuh haru.

Tiba-tiba, Jayakusuma datang dan melihat pemandangan itu. Amarahnya memuncak.
"Suli! Sekeber! Apa yang kalian lakukan?!" bentaknya keras.

Sekeber dengan tegas menjawab, "Tuan Adipati, saya tidak berniat melawan. Suli adalah belahan jiwa saya. Izinkan saya membawa Suli dan anak-anak kami pergi. Saya bersumpah tidak akan mengganggu negeri ini."
Namun, Jayakusuma menghunus kerisnya dengan mata penuh dendam.
"Aku tidak akan membiarkanmu hidup, Sekeber!" serunya sambil menusukkan keris ke dada Sekeber.

Sekeber terjatuh, namun sempat berkata dengan napas tersengal, "Tuan Jayakusuma, jika suatu hari muncul seekor kuda yang gagah, beri nama ia Kuda Juru Taman... Suli, maafkan aku... aku titip anak-anak kita..."

Melihat itu, Suli meraih keris Jayakusuma dan menusukkan ke tubuhnya sendiri.
"Mas Sekeber, aku akan ikut denganmu!" jerit Suli.

Jayakusuma terkejut, namun terlambat menghentikannya.
"Suli!" pekiknya.

Sirwenda dan Danurwenda menangis ketakutan.
"Kak, ayo kita pergi!" ajak Sirwenda sambil menarik adiknya menjauh dari tempat itu.
"Tunggu aku, Kak!" balas Danurwenda sambil berlari mengejarnya.

Jayakusuma hanya bisa menatap nanar, menyesali semua yang telah terjadi.
"Sirwenda, Danurwenda... maafkan aku..." bisiknya dengan hati hancur.

BERSAMBUNG.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun