OLEH: Khoeri Abdul Muid
Siang itu, Ki Gedhe Kemiri duduk termenung sendirian di gazebo taman rumahnya. Tatapannya kosong, senyumnya datang dan pergi. Kadang serius, lalu berganti mesem-mesem sendiri.
"Aneh!" gumamnya pelan. Pikiran Ki Gedhe melayang. Entah mengapa, ia membayangkan sedang berduaan dengan Suli, gadis yang diam-diam sering diidamkan.
"Suli, cantik," bisiknya. "Tahukah kamu, setelah kita mengarungi samudra asmara ini, rasanya seperti kenyang tanpa makan, segar tanpa minum. Tapi, Suli, haus jiwaku tak terpuaskan hanya dengan ini saja. Kita harus lebih dari sekadar begini, Cantik!" ucap Ki Gedhe penuh ambisi.
"Lalu, mau apa lagi, Ki?" tanya Suli, manja dalam imajinasinya.
"Kalau aku ini kumbang, aku harus bisa menikmati sari bungamu. Tidak cukup hanya memandangi, apalagi sekadar menyentuh. Ayo, Cantik, ikut aku ke peraduan!" ujar Ki Gedhe bersemangat, matanya membayangkan Suli di depan mata.
Namun, bayangan Suli menjauh. "Ah, jangan begitu, Ki. Bersabarlah. Nanti saja, setelah ijab kabul," jawab Suli menolak.
"Hhh, Suli! Sekarang milik siapa, besok juga tetap milikku. Sudah, ayo!" Ki Gedhe mendekatkan tangannya, seolah ingin menggapai.
Tiba-tiba...
"Suliii!" teriaknya keras.
"Ki! Ki Gedhe, bangun!" suara lantang membuyarkan semuanya.
Ki Gedhe tersentak. Ia rupanya tertidur di kursi panjang di belakang rumah. Nyi Gedhe berdiri di depannya, dengan tatapan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
"Tidur kok sampai mengigau begitu, menyebut-nyebut nama Suli? Dasar tua-tua keladi! Sudah tua, tapi masih tergila-gila pada daun muda," omel Nyi Gedhe tanpa ampun.
Ki Gedhe tergagap, "A-a, Nyi! Itu... aku tidak sengaja. Hanya mimpi, kok. Tidak ada apa-apa!"
Nyi Gedhe melotot. "Tidak sengaja? Lalu kenapa semua orang di kampung ini mulai bergosip, Ki? Malu aku jadi istrimu!"
Ki Gedhe mencoba berdalih, "Ah, gosip-gosip itu hanya bualan. Dasar mulut orang-orang!"
"Tidak usah menyangkal, Ki!" potong Nyi Gedhe. "Aku tahu segalanya. Bahkan Jinten pun sudah membocorkan semuanya. Jangan kira aku tidak tahu kalau kamu sering menyogoknya!"
Ki Gedhe terdiam sejenak, berpikir keras. Tapi alih-alih membela diri, ia malah berkata, "Sudahlah, Nyi. Memang benar, aku cinta Suli. Dan itu urusanku!"
"Cinta?" Nyi Gedhe menatap tajam. "Cinta yang memaksa, mengancam, dan merayu lewat sogokan? Itu bukan cinta, Ki. Itu nafsu. Kalau kamu benar mencintai, seharusnya kamu bisa memerdekakan, bukan menjajah!"
Namun, sebelum perdebatan mencapai puncaknya, suara ketukan pintu terdengar.
"Nuwuuuun!" suara Modin terdengar dari luar.
"Ada apa, Din?" tanya Ki Gedhe, berusaha menyembunyikan kekakuannya.
"Anu, Ki, soal program cacah jiwa. Kebayan sudah menunggu. Saya disuruh menjemput," jawab Modin sopan.
"Baiklah, kita berangkat sekarang." Ki Gedhe segera berdiri, meninggalkan Nyi Gedhe yang masih mendongkol.
Ketika Ki Gedhe melangkah keluar bersama Modin, Nyi Gedhe bergumam, "Huh, dasar buaya buntung. Masih beruntung kamu diselamatkan Modin."
BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H