"Ki! Ki Gedhe, bangun!" suara lantang membuyarkan semuanya.
Ki Gedhe tersentak. Ia rupanya tertidur di kursi panjang di belakang rumah. Nyi Gedhe berdiri di depannya, dengan tatapan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
"Tidur kok sampai mengigau begitu, menyebut-nyebut nama Suli? Dasar tua-tua keladi! Sudah tua, tapi masih tergila-gila pada daun muda," omel Nyi Gedhe tanpa ampun.
Ki Gedhe tergagap, "A-a, Nyi! Itu... aku tidak sengaja. Hanya mimpi, kok. Tidak ada apa-apa!"
Nyi Gedhe melotot. "Tidak sengaja? Lalu kenapa semua orang di kampung ini mulai bergosip, Ki? Malu aku jadi istrimu!"
Ki Gedhe mencoba berdalih, "Ah, gosip-gosip itu hanya bualan. Dasar mulut orang-orang!"
"Tidak usah menyangkal, Ki!" potong Nyi Gedhe. "Aku tahu segalanya. Bahkan Jinten pun sudah membocorkan semuanya. Jangan kira aku tidak tahu kalau kamu sering menyogoknya!"
Ki Gedhe terdiam sejenak, berpikir keras. Tapi alih-alih membela diri, ia malah berkata, "Sudahlah, Nyi. Memang benar, aku cinta Suli. Dan itu urusanku!"
"Cinta?" Nyi Gedhe menatap tajam. "Cinta yang memaksa, mengancam, dan merayu lewat sogokan? Itu bukan cinta, Ki. Itu nafsu. Kalau kamu benar mencintai, seharusnya kamu bisa memerdekakan, bukan menjajah!"
Namun, sebelum perdebatan mencapai puncaknya, suara ketukan pintu terdengar.
"Nuwuuuun!" suara Modin terdengar dari luar.