OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit malam gelap pekat. Di sebuah gang sempit yang dihiasi lampu temaram, Adi berdiri dengan tangan mengepal. Matanya merah menyala, penuh kemarahan. Di hadapannya, seorang pria yang lebih tua, Darto, tersungkur dengan wajah penuh luka.
"Ini belum sebanding dengan apa yang kau lakukan padaku, Pak Darto!" Adi menggeram sambil mengayunkan lagi tinjunya.
Darto terbatuk, darah mengalir dari sudut bibirnya. "Adi... dengarkan aku... aku hanya ingin melindungi keluargaku."
"Keluargamu?! Karena kau, keluargaku hancur!" bentak Adi.
Tiga bulan sebelumnya, Adi adalah seorang karyawan biasa di pabrik tekstil. Hidupnya sederhana, tapi cukup. Hingga suatu hari, pabriknya terbakar. Tak lama, tersebar kabar bahwa kebakaran itu disebabkan oleh korupsi di bagian manajemen. Dan nama Darto, atasannya, disebut-sebut sebagai biang keladi.
Adi kehilangan pekerjaannya. Istrinya sakit, dan anaknya tak bisa melanjutkan sekolah. Rumah kontrakan yang mereka tinggali akhirnya harus ditinggalkan.
"Aku akan membalasnya!" sumpah Adi.
Dalam perjalanan waktu, Adi memburu Darto seperti seekor singa lapar. Ia memantau setiap langkah pria itu, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Malam itu, di gang sempit, Adi akhirnya melampiaskan dendamnya.
"Sudah cukup, Adi..." suara Darto terdengar parau, hampir tak terdengar.
Adi mengangkat batu yang ia temukan di tanah, siap menghabisi pria tua itu. Tapi Darto melanjutkan, "Apa kau pikir ini akan membuat hidupmu lebih baik?"
Adi terdiam, tapi hanya sejenak. "Kau pantas mendapatkan ini! Karena ulahmu, aku kehilangan segalanya!"
"Adi..." Darto terbatuk lagi. "Aku memang salah. Tapi apakah kau tahu? Aku mengorbankan diriku untuk melindungi puluhan karyawan. Kebakaran itu bukan hanya karena korupsi. Aku dijadikan kambing hitam."
"Apa? Omong kosong!" Adi berteriak, menggenggam batu semakin erat.
Beberapa waktu sebelum kebakaran, Darto sebenarnya sudah tahu bahwa pabrik itu bermasalah. Ia memohon pada pemilik perusahaan agar memperbaiki instalasi listrik yang rusak, tapi permohonannya diabaikan. Ketika api akhirnya melahap pabrik, pemilik perusahaan menyalahkan Darto untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.
"Aku menerima semua tuduhan itu, Adi..." ucap Darto lirih. "Karena aku tahu, kalau aku melawan, anak-anak buahku akan lebih menderita. Aku membiarkan diriku terbakar lebih dulu, demi kalian semua..."
Kata-kata itu menggema di telinga Adi. Batu yang ia genggam jatuh ke tanah. Tiba-tiba, rasa panas menyengat menjalari telapak tangannya.
Ia melihat telapak tangannya yang memerah. Itu bukan luka fisik, tapi bara amarah yang selama ini ia genggam. Bara itu perlahan menghanguskan dirinya sendiri, mengaburkan pandangannya, dan menghancurkan logikanya.
Adi menatap Darto yang tergeletak tak berdaya di hadapannya. Tubuh pria tua itu tampak rapuh, berbeda dari sosok yang selama ini ia benci dalam pikirannya.
"Aku... aku yang seharusnya mendengarkan lebih dulu," bisik Adi, suaranya pecah.
Namun, sebelum Adi sempat berkata lebih banyak, sirene polisi memecah keheningan malam. Warga sekitar, yang mendengar keributan itu, telah memanggil aparat.
Adi ditangkap malam itu, sementara Darto dibawa ke rumah sakit.
Di balik jeruji, Adi merenungi semua yang telah terjadi. Ia menyadari bahwa kemarahannya tidak pernah mengenai sasarannya. Bara yang ia genggam terlalu lama hanya membuat dirinya terbakar lebih dulu.
Dan kini, sisa-sisa bara itu tetap ada, menghanguskan hidupnya sedikit demi sedikit. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H