"Seandainya aku lebih cepat... seandainya aku..."
Malam itu, aku duduk sendiri di reruntuhan. Angin dingin menggigit, membawa bau kehancuran. Di bawah bintang yang redup, aku berbisik pada diriku sendiri.
"Aku bernapas... maka aku ada. Tapi apa gunanya bernapas jika tidak pernah berbuat apa-apa?"
Hembusan terakhir dari anak kecil itu menjadi dentang palu di hatiku, membangun sebuah penyesalan yang tak akan pernah hilang. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H