Aku tidak menjawab. Yang kutahu, detak jantungku seperti palu menghantam dada.
Kini, aku berdiri di depan reruntuhan. Bau kayu terbakar bercampur anyir darah. Teriakan masih terdengar, tapi tidak ada yang lebih menusuk dibanding suara lirih seorang anak kecil.
"Pak, aku kedinginan..."
Aku memutar kepala. Di balik reruntuhan, seorang anak kecil menatapku dengan mata penuh harap.
Tanpa berpikir, aku berlari. Tanganku menggali puing-puing dengan panik.
"Bertahanlah! Aku akan menyelamatkanmu!" seruku, meski napasku tersengal-sengal.
Tapi tubuh kecil itu semakin lemah. Napasnya makin pelan.
"Pak... kenapa Bapak baru datang sekarang?"
Sebelum api melahap segalanya, aku berdiri di pasar, membeli rokok. Aku mendengar suara-suara keributan dari arah rumah Bu Lastri. Tapi aku memilih berpaling.
"Bukan urusanku," pikirku lagi.
Tapi kini, di depan tubuh tak bernyawa itu, semua pembelaanku runtuh. Napas anak kecil itu berhenti bukan karena api, tapi karena kelalaianku.