OLEH: Khoeri Abdul Muid
Kampus megah dengan gedung-gedung modern di antara pohon-pohon rindang. Mahasiswa berlalu-lalang, membawa semangat muda. Suasana yang biasanya damai berubah menjadi arena pertempuran moral.
"Dengar baik-baik!" Suara dari toa tua di atap gedung rektorat menggema, mengalahkan kebisingan mahasiswa yang sibuk berdiskusi.
"Perhatian, semua mahasiswa diwajibkan hadir di aula besar jam dua siang. Ada pengumuman darurat dari rektorat."
Di sudut taman kampus, Nara dan Alif, dua mahasiswa Filsafat yang dikenal sering skeptis terhadap birokrasi kampus, saling berpandangan.
"Darurat? Ini pasti sesuatu yang gawat," gumam Nara sambil mengaduk kopi kalengnya.
"Entahlah. Biasanya sih nggak jauh-jauh dari beasiswa atau fasilitas kampus yang rusak," jawab Alif cuek.
Tepat pukul dua siang, aula besar penuh sesak. Mahasiswa, dosen, dan staf kampus hadir, wajah mereka menyiratkan rasa ingin tahu sekaligus tegang. Di atas panggung, Rektor Dharma berdiri dengan raut wajah yang serius, mengenakan setelan jas abu-abu yang membuatnya terlihat semakin berwibawa.
"Teman-teman sekalian," suaranya berat tapi tegas, "Saya ingin menyampaikan hal yang sangat penting. Dalam hidup, ada tiga hal yang utama."
Semua terdiam, menunggu dengan saksama.
"Yang pertama adalah berbuat baik. Yang kedua adalah berbuat baik. Dan yang ketiga..."
"Berbuat baik juga, Pak?" celetuk seorang mahasiswa, membuat aula sedikit ricuh oleh tawa.
Rektor mengangkat tangan, memberi isyarat untuk hening. "Benar. Tapi pertanyaannya, apakah kita benar-benar melakukannya?"
Hening.
Ia melanjutkan, "Kita baru saja menemukan kasus korupsi besar-besaran. Dana beasiswa yang seharusnya membantu mahasiswa kurang mampu justru diselewengkan."
Geger. Suasana aula mendadak riuh dengan bisik-bisik dan komentar.
"Siapa pelakunya?" bisik Alif ke Nara.
"Ssst, diam dulu. Ini baru menarik," jawab Nara.
Rektor melanjutkan, suaranya kini lebih tegas. "Saya memberi kesempatan kepada siapapun yang terlibat untuk maju dan mengaku. Kalau tidak, investigasi akan kami lanjutkan, dan konsekuensinya akan jauh lebih berat."
Beberapa saat tidak ada yang bergerak, hingga tiba-tiba Arya, ketua BEM, berdiri dari barisan depan.
Dengan langkah mantap, Arya naik ke atas panggung. Matanya tajam, dan suaranya menggema di aula besar. "Pak Rektor, saya tahu siapa yang bertanggung jawab."
Semua mata tertuju padanya.
"Selama beberapa bulan terakhir, saya mengumpulkan bukti tentang penyalahgunaan dana ini. Dan pelakunya adalah..." Arya berhenti, menatap langsung ke arah Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan yang duduk di barisan khusus.
"...Bapak Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan."
Teriakan dan seruan kaget memenuhi aula. Sang Wakil Rektor berdiri, wajahnya merah padam. "Itu fitnah! Kamu tidak punya bukti!" serunya keras.
Arya tetap tenang. "Saya punya bukti transfer uang, dokumen palsu, dan nama-nama penerima fiktif. Semua sudah saya serahkan ke tim audit internal."
Wakil Rektor tampak panik. Ia berusaha meninggalkan aula, tetapi petugas keamanan segera menghadangnya.
"Ini tidak akan berakhir baik untukmu!" teriaknya pada Arya.
Setelah kejadian itu, nama Arya menjadi pembicaraan seluruh kampus. Ia dipuji sebagai pahlawan, tetapi juga menghadapi ancaman dari kelompok yang merasa dirugikan. Malam itu, ia menerima surat ancaman di pintu kosnya.
"Berhenti sekarang, atau nyawamu jadi taruhan."
Namun Arya tidak gentar. Bersama Nara, Alif, dan beberapa teman lainnya, ia melaporkan semua ancaman itu ke pihak kampus dan polisi.
Hari terakhir sidang etik, Arya berdiri di aula, kali ini bukan sebagai pelapor, tetapi sebagai pembicara utama.
"Berbuat baik tidak selalu mudah. Kadang kita harus menghadapi ketakutan, ancaman, bahkan pengkhianatan. Tapi ingat, tiga hal terpenting dalam hidup adalah berbuat baik, berbuat baik, dan berbuat baik."
Aula berdiri, tepuk tangan membahana. Di luar, angin menerbangkan daun-daun kering, seolah membawa pesan keberanian Arya ke setiap sudut kampus.
Di koridor kampus, seorang pria berjas hitam menatap layar ponsel. Foto Arya terpampang di sana. Ia tersenyum tipis. "Gadis ini lebih tangguh dari yang kuduga. Kita lihat, seberapa jauh dia bisa bertahan."
Suasana tegang, menyisakan tanda tanya besar: Apakah kebaikan Arya akan terus menang, atau ada badai lain yang siap menghantam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H