"Anakku... kau telah menunjukkan arti pengorbanan sejati," ucap Pak Jarot dengan suara parau.
Namun, saat itu juga, Bima berdiri dan berteriak, "Cukup sudah sandiwara ini! Pelakunya adalah aku!"
Kerumunan terdiam. Semua menatap Bima dengan kaget.
"Bima, apa yang kau lakukan?!" tanya Giri, ayahnya, dengan wajah penuh amarah dan bingung.
Bima menatap semua orang dengan tatapan dingin. "Jika Lodra tidak mati, kalian semua tidak akan sadar. Kalian hanya akan terus bertikai! Aku mencintai desa ini lebih dari hidupku sendiri... dan aku mencintai sahabatku, Lodra. Aku membunuhnya agar kedamaian bisa benar-benar hidup!"
Pak Wijaya gemetar. "Kau mengorbankan sahabatmu sendiri? Demi apa, Bima?"
"Demi desa ini. Lodra tahu apa yang kulakukan. Dia sendiri yang bilang, 'Jika aku mati, biarlah menjadi akhir dari semua dendam ini.' Aku hanya memenuhi janjinya."
Desa diliputi keheningan. Semua orang menyadari bahwa konflik ini tidak akan selesai tanpa sebuah pengorbanan besar. Lodra adalah martir, dan Bima adalah alat yang melaksanakan keputusan pahit itu.
Sejak saat itu, desa Kalinggajaya damai. Namun, bayang-bayang pengorbanan Lodra dan tindakan Bima terus menghantui setiap warga, mengingatkan mereka bahwa perdamaian sejati sering kali lahir dari luka terdalam.
Tidak ada yang mampu memaafkan Bima sepenuhnya, tetapi tak ada yang berani mengutuknya. Biarlah diurus pihak yang berwajib. Dan, yang terpatri di keyakinan setiap penduduk adalah desa Kalinggajaya hidup dalam harmoni yang dibayar dengan pengorbanan dua sahabat sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H