Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR Penerbit dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salah Paham, Salah Hati

27 November 2024   19:42 Diperbarui: 27 November 2024   19:44 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi "Salah Paham, Salah Hati". dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Rina berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri dengan perasaan campur aduk. Pagi itu, dia merasa ada yang berbeda. Hati yang biasanya tenang kini terasa gelisah, dipenuhi keraguan yang menggerogoti setiap langkahnya.

"Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya, mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Hatinya masih terbayang percakapan semalam. Yudha, sahabatnya yang telah lama dikenalnya, baru saja mengirim pesan yang sangat mengguncang pikirannya.

Rina, aku ingin kita bicara. Ada sesuatu yang harus aku ungkapkan.

Rina tahu apa artinya. Sudah lama dia merasakan kedekatan dengan Yudha, jauh lebih dari sekadar teman. Hanya saja, dia tidak ingin mengakui perasaan itu, takut kalau-kalau Yudha tidak merasakannya juga. Dia selalu berpikir bahwa persahabatan adalah yang terpenting.

Namun pesan itu membuatnya cemas. Mengapa Yudha ingin berbicara sekarang? Apakah ini waktunya untuk mengungkapkan perasaannya? Apa jika Yudha merasa tidak sama?

"Kenapa aku terlalu berpikir keras tentang ini?" Rina bergumam lagi, mencoba mengusir kegelisahan dalam dirinya.

Namun, hari itu, semuanya berubah. Rina melihat Yudha dari kejauhan saat mereka bertemu di kafe tempat biasa mereka bertemu. Yudha tampak tergesa-gesa, senyumnya lebih pudar dari biasanya.

"Yudha, ada apa? Kau terlihat seperti sedang terburu-buru," tanya Rina, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Yudha menatapnya sejenak, lalu menundukkan kepala. "Rina... ada yang harus aku katakan," katanya perlahan. "Aku merasa kita perlu jarak. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri."

Rina terkejut. Seperti ada yang patah dalam hatinya. "Apa? Maksudmu, kita... berpisah sebagai teman?"

Yudha menghela napas. "Bukan itu. Tapi, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan dengan diriku sendiri. Aku... aku merasa aku terlalu bergantung padamu."

Rina tidak bisa menahan perasaan bingungnya. "Terlalu bergantung? Tapi, aku selalu ada untukmu. Kenapa tiba-tiba kamu mengatakan ini? Apa yang salah, Yudha?" Tanya Rina dengan suara yang mulai bergetar.

Yudha menunduk lagi, kali ini dengan wajah penuh penyesalan. "Aku merasa, aku sudah memberi harapan yang salah. Aku membuatmu berpikir bahwa kita lebih dari teman, padahal aku tidak bisa memberimu lebih dari itu. Aku... aku ingin kita tetap berteman, tapi aku tahu aku sudah membuatmu bingung."

Rina merasa seakan seluruh dunia berputar. Semua rasa takutnya selama ini seolah menjadi kenyataan. Yudha ternyata merasa begitu, tapi dia tidak pernah memberitahunya. Semua yang Rina rasakan, semua yang dia duga, sepertinya hanya ada di pikirannya sendiri.

"Apa... apa maksudmu dengan memberi harapan yang salah?" tanya Rina dengan suara yang hampir tak terdengar.

Yudha menggigit bibirnya, lalu mengangkat wajahnya. "Aku harus meminta maaf, Rina. Aku seharusnya tidak mengizinkan diriku merasa lebih dekat denganmu. Aku tahu, itu salah."

Rina bisa merasakan hatinya hancur. Tapi lebih dari itu, dia merasa bingung dan marah. "Kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal, Yudha? Kenapa kamu membuatku berpikir kita lebih dari sekadar teman?"

Yudha terdiam. Wajahnya penuh penyesalan. "Aku... aku memang salah. Aku mengira kita bisa tetap seperti ini, tanpa ada perasaan yang rumit. Tapi ternyata aku hanya menyakitimu."

Rina menatap Yudha dengan mata penuh air mata. "Sungguh, aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Semua ini membuatku merasa seperti orang bodoh."

Yudha berjalan mendekat, mencoba meraih tangan Rina. "Rina, maafkan aku. Aku tidak ingin membuatmu terluka. Tapi aku juga tidak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa aku hanya ingin kita tetap menjadi teman."

Rina menarik tangannya. "Jangan sentuh aku, Yudha. Semua ini... semuanya sudah jelas sekarang."

Dia berbalik, hampir lari keluar dari kafe itu, tetapi tiba-tiba berhenti dan berbalik lagi. "Aku tak akan menyalahkanmu. Tapi aku ingin kamu tahu, jika kamu punya sesuatu yang harus dikatakan, jangan tunggu-tunggu. Aku juga manusia, dan aku punya hati. Jangan buat aku merasa seperti ini."

Langkahnya terhenti, begitu pula Yudha yang berdiri di belakangnya, hanya bisa menatap dengan wajah penuh penyesalan.

Rina menatap matanya untuk terakhir kali. "Aku berharap kita bisa tetap menjadi teman, Yudha. Tapi aku tidak akan pernah bisa melupakan perasaan yang kau buat begitu lama."

Ketika Rina melangkah pergi, Yudha hanya bisa berdiri dengan tangan kosong. Semua kata-kata yang dia ucapkan, tidak bisa lagi memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. Air mata Rina mengalir, bukan karena kehilangan cinta, tetapi karena dia merasa dirinya telah dibingungkan oleh seseorang yang tidak pernah benar-benar mengatakan yang sebenarnya.

Mereka berdua tidak tahu bahwa, di luar sana, ada orang yang juga merasakan hal yang sama. Namun, mereka terlalu terlambat untuk mengungkapkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun