Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senyuman yang Menghancurkan

27 November 2024   15:08 Diperbarui: 27 November 2024   15:10 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi senyuman yang menghancurkan. dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di tengah riuhnya pasar, sebuah kejadian luar biasa tengah mengguncang hati penduduk desa. Dini, seorang gadis muda dengan senyum ceria yang selalu terukir di wajahnya, menjadi buah bibir seluruh kampung. Di usia yang masih belia, Dini sudah dikenal sebagai sosok yang penuh kasih dan selalu berusaha membantu siapa saja yang membutuhkan. Bahkan, tak jarang ia memberikan makanan atau barang-barang miliknya kepada orang yang lebih membutuhkan.

"Apa kabarmu, Pak Warto?" tanya Dini dengan suara lembut kepada seorang pria tua yang sedang duduk di pinggir jalan, memandangi keramaian pasar.

"Alhamdulillah, Dini. Tapi, hidup ini semakin susah," jawab Pak Warto dengan suara lemah, wajahnya penuh kerut, tak mampu menyembunyikan kesedihannya.

"Pak Warto, jangan khawatir! Kalau Bapak lapar, sini saya belikan nasi bungkus," ujar Dini sambil merogoh kantongnya.

Namun, meskipun murah hati, hidup Dini tidak selalu indah. Konflik mulai muncul saat di rumahnya, sang ibu yang tengah sakit semakin parah dan biaya pengobatan semakin membengkak. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh tani hanya bisa pasrah. Mereka hampir tak punya uang lagi.

Pada suatu malam yang gelap, Dini duduk termenung di depan jendela, memandangi bintang-bintang yang tampak begitu jauh. Angin malam berhembus lembut, namun hatinya terasa berat. "Kenapa hidup ini selalu berat?" gumamnya dalam hati. "Aku ingin sekali membuat orang lain bahagia, tapi kenapa aku merasa semakin terperangkap dalam masalahku sendiri?"

Suasana sunyi itu pecah dengan suara dering telepon genggamnya. Dini melihat layar, ternyata sebuah pesan dari seorang teman lama, Angga, yang sudah lama tak dia hubungi.

Angga: "Dini, aku tahu kamu lagi susah. Tapi aku ada tawaran besar buat kamu. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Kalau kamu mau, kita bisa kerjasama. Kita bisa buat banyak uang!"

Dini terkejut. Angga, teman SMA-nya yang dulu sempat berkelana mencari jalan hidup, kini menawarkan sesuatu yang tampaknya menggiurkan. Tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang merasa ragu. Angga selalu punya cara untuk memikat orang dengan janji-janji manis.

Namun, di tengah kepedihan hatinya, Dini merasa terhimpit oleh kenyataan. Biaya pengobatan ibunya terus meningkat, dan ia merasa sudah tidak ada jalan lain selain mengikuti tawaran itu. "Aku harus bisa membantu orang-orang. Aku harus menemukan cara agar hidupku berharga," pikir Dini.

Pada hari yang ditentukan, Dini bertemu dengan Angga di sebuah kafe sepi yang terletak di sudut kota. Suasana di dalamnya sunyi, hanya terdengar musik lembut dari radio tua. Mereka berdua duduk di meja dekat jendela, dan Angga segera menyodorkan sebuah dokumen.

"Dini, kalau kamu setuju, kita bisa mulai bisnis besar. Kamu cuma perlu ikut saja, tanpa banyak tanya. Percayalah, uang yang akan kamu dapatkan bisa mengubah hidupmu," kata Angga sambil tersenyum lebar.

Dini memandangi dokumen itu dengan mata yang tak berkedip. Hatinya berdebar. "Tapi, aku tahu ini salah... Tapi ibu..." pikirnya.

"Aku percaya kamu, Angga," akhirnya Dini berkata, menyerahkan kepercayaan pada teman lamanya yang tampaknya bisa mengubah hidupnya.

Namun, begitu Dini menandatangani perjanjian itu, rasa gelisah merayap di dadanya. Saat ia melangkah keluar dari kafe, hatinya terasa kosong. Sesuatu dalam dirinya merasa ada yang tidak beres. "Kenapa aku begitu mudah terperdaya?" tanya Dini pada dirinya sendiri.

Hari-hari berikutnya, Dini semakin terjebak dalam bisnis yang dijalankan Angga. Uang mengalir deras, namun perasaan bersalah kian menghantuinya. Setiap kali ia memberi bantuan, semakin banyak orang yang terjebak dalam lingkaran penipuan. Mereka tidak tahu bahwa bantuan yang diberikan Dini berasal dari usaha yang keliru. Dunia yang ia bangun kini berdiri di atas ketidakbenaran.

Dini tak lagi bisa tidur nyenyak. Pada suatu malam yang penuh ketegangan, ia memutuskan untuk menemui Angga dan mengakhiri semua ini.

"Angga, aku ingin keluar dari semuanya. Aku nggak bisa lagi melanjutkan ini. Aku sudah terlalu banyak merugikan orang," kata Dini dengan suara bergetar, air mata mulai menetes di pipinya.

Angga menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh kecemasan. "Kamu pikir kamu bisa mundur begitu saja, Dini? Kamu sudah terlalu dalam. Kau tidak akan bisa keluar dari permainan ini."

Dini terdiam, mendengarkan kata-kata Angga yang menusuk hati. "Tapi... aku hanya ingin membantu orang, Angga. Aku ingin membuat mereka bahagia seperti yang aku janjikan pada diri sendiri. Kenapa malah begini jadinya?"

Angga mendekat, senyumnya dingin. "Semua orang punya harga, Dini. Termasuk kamu. Hanya saja, kamu lebih murah daripada yang aku kira."

Dini merasa dunia seakan runtuh. Semua impiannya untuk membuat orang lain bahagia kini hancur dalam sekejap. "Urip mupangati kanggo sapadha-padha," bisiknya pelan, menyesali segala yang telah terjadi. Dalam sekejap, ia merasa bahwa senyum yang selama ini ia berikan justru telah menghancurkan segalanya.

Dengan langkah lelah dan hati penuh penyesalan, Dini kembali ke rumah. Namun, saat ia tiba, ia mendapati ibunya terbaring lemah di tempat tidur, dengan napas yang semakin berat. Di sampingnya, ayahnya tampak menunduk, matanya berkaca-kaca. "Ibu..." hanya itu yang bisa Dini ucapkan.

Namun, saat ia menggenggam tangan ibunya, mendalam sekali, ibunya membuka mata dengan lemah dan berkata dengan suara pelan, "Dini... Kamu sudah melakukan yang terbaik... Tak perlu jadi orang lain untuk merasa berguna. Hidupmu sudah berarti... Senyum yang kamu beri... adalah yang terindah..."

Dini menatap wajah ibunya yang penuh kasih. Tiba-tiba, segala penyesalan dan rasa sakit itu hilang. Ia menyadari bahwa selama ini, yang ia cari bukanlah uang atau pengakuan. Yang terpenting adalah ketulusan hati.

Senyuman terakhir ibunya membuat Dini mengerti. Bahwa untuk membuat hidupnya berharga, ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri, tidak terjebak dalam keserakahan dan tipu daya. "Aku akan berubah," bisik Dini pelan, dengan hati yang kembali penuh harapan.

Dan pada akhirnya, hidupnya kembali berarti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun