Angga mendekat, senyumnya dingin. "Semua orang punya harga, Dini. Termasuk kamu. Hanya saja, kamu lebih murah daripada yang aku kira."
Dini merasa dunia seakan runtuh. Semua impiannya untuk membuat orang lain bahagia kini hancur dalam sekejap. "Urip mupangati kanggo sapadha-padha," bisiknya pelan, menyesali segala yang telah terjadi. Dalam sekejap, ia merasa bahwa senyum yang selama ini ia berikan justru telah menghancurkan segalanya.
Dengan langkah lelah dan hati penuh penyesalan, Dini kembali ke rumah. Namun, saat ia tiba, ia mendapati ibunya terbaring lemah di tempat tidur, dengan napas yang semakin berat. Di sampingnya, ayahnya tampak menunduk, matanya berkaca-kaca. "Ibu..." hanya itu yang bisa Dini ucapkan.
Namun, saat ia menggenggam tangan ibunya, mendalam sekali, ibunya membuka mata dengan lemah dan berkata dengan suara pelan, "Dini... Kamu sudah melakukan yang terbaik... Tak perlu jadi orang lain untuk merasa berguna. Hidupmu sudah berarti... Senyum yang kamu beri... adalah yang terindah..."
Dini menatap wajah ibunya yang penuh kasih. Tiba-tiba, segala penyesalan dan rasa sakit itu hilang. Ia menyadari bahwa selama ini, yang ia cari bukanlah uang atau pengakuan. Yang terpenting adalah ketulusan hati.
Senyuman terakhir ibunya membuat Dini mengerti. Bahwa untuk membuat hidupnya berharga, ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri, tidak terjebak dalam keserakahan dan tipu daya. "Aku akan berubah," bisik Dini pelan, dengan hati yang kembali penuh harapan.
Dan pada akhirnya, hidupnya kembali berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H