OLEH: Khoeri Abdul Muid
Lila duduk di pinggir jalan desa, menatap langit yang mendung. Angin menggulung dedaunan, membawa hujan yang semakin deras. Hari itu, seperti hari-hari lainnya, tidak ada yang istimewa. Kecuali, kali ini, ayahnya, Pak Rauf, akan kembali dari pasar dan Lila tahu apa yang akan terjadi.
Sejak kecil, Lila selalu merasa ada jarak antara dirinya dan ayahnya. Pak Rauf, seorang petani yang keras, tidak pernah mengerti impian Lila untuk melanjutkan pendidikan ke kota. Bagi Pak Rauf, pendidikan adalah milik orang kaya, dan untuk orang seperti mereka, bertani adalah segalanya.
"Lila!" Suara Pak Rauf terdengar dari kejauhan. Langkah kaki beratnya di tanah berlumpur membawa pesan yang sudah dikenalnya. Lila menunduk, menarik napas panjang.
Pak Rauf berdiri di depan pintu, wajahnya tegang. "Lila, aku tidak mau mendengar lagi tentang cita-citamu. Itu hanya mimpi kosong!" Suaranya kasar, tapi ada kecemasan yang samar-samar tersirat.
Lila menatap matanya, berusaha menahan air mata. "Ayah, aku ingin belajar lebih banyak. Aku ingin membawa perubahan. Jangan batasi aku hanya karena aku anak petani."
"Perubahan? Hah!" Pak Rauf tertawa sinis. "Jangan bermimpi. Kehidupan ini sudah cukup keras tanpa perlu melamun tentang hal-hal yang tidak ada gunanya. Cita-cita itu untuk orang-orang yang punya kesempatan, bukan untuk kita."
Lila terdiam. Air mata yang tadi ditahannya kini jatuh begitu saja. Tapi Lila tidak menyerah. "Ayah, aku tidak ingin hidup seperti ini selamanya. Aku ingin lebih dari sekadar bertani. Aku ingin mengubah hidup kita."
Pak Rauf mengalihkan pandangannya. Ia tidak bisa melihat anak perempuannya terluka. Namun, hatinya terlalu keras untuk bisa mengakui keinginannya. "Kamu hanya akan mengecewakan dirimu sendiri. Tidak ada yang bisa mengubah nasib kita."
Lila menundukkan kepala. Ia tahu, ayahnya terlalu takut untuk melihat kenyataan bahwa dunia bisa memberi peluang lebih banyak, bahkan untuk mereka yang berasal dari desa.
Hari berlalu, dan Lila terus berjuang dengan tekad yang semakin menguat. Ia menyimpan impian itu di dalam hatinya, meskipun ayahnya tidak pernah mendukungnya. Namun, di balik kecamannya, Lila merasakan kasih sayang yang dalam dari Pak Rauf. Ia hanya takut kehilangan putrinya, takut jika Lila terjatuh dan terluka di luar sana.