Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Demokrasi di Ujung Pagi

27 November 2024   01:15 Diperbarui: 27 November 2024   02:06 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Tahun 1955, Indonesia yang baru merdeka bersiap menghadapi pemilu pertama. Dengan semangat yang berkobar, bangsa ini ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mampu menentukan nasib mereka sendiri. Pemilu pertama itu bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga tentang menjaga integritas, tentang perjuangan panjang untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya: demokrasi yang sejati.

Di sebuah desa terpencil, Pak Budi, seorang petani berusia lanjut, berdiri di depan tempat pemungutan suara. Cahaya fajar yang perlahan menyinari bumi memberikan harapan baru baginya. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia bisa memilih pemimpin untuk negeri ini.

"Pak Budi, kenapa sudah datang sejak subuh?" tanya Andi, pemuda yang baru pertama kali ikut pemilu.

Pak Budi tersenyum bijak, mengusap peluh yang mengalir di dahinya. "Karena ini adalah hak kita, Nak. Suara kita adalah kekuatan. Demokrasi ini milik rakyat. Seperti kata Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kita harus menjaga ini."

Andi mengangguk, namun di dalam hatinya masih ada keraguan. Ia tahu pemilu ini adalah langkah pertama yang besar, tetapi di luar sana, dunia politik penuh dengan permainan dan tipu daya. Ia merasa ada sesuatu yang gelap di balik pemandangan yang tampak indah.

Saat giliran Andi tiba untuk memilih, ia memasukkan kertas suara ke dalam kotak. Namun, suara hiruk-pikuk dari luar mengalihkan perhatiannya. Sekelompok pemuda dengan slogan-slogan keras mulai memasuki area pemilu, mengguncang ketenangan pagi itu. Mereka berteriak mendukung calon mereka, namun ada yang tidak biasa. Beberapa dari mereka menawarkan amplop berisi uang kecil kepada para pemilih sebagai imbalan untuk memilih calon tertentu.

Andi terkejut. "Apakah ini yang disebut demokrasi?" gumamnya dalam hati.

Pak Budi yang melihat kecemasan di wajah Andi segera mendekat. "Itulah yang kita hadapi, Nak. Demokrasi itu bukan hanya soal memilih, tapi soal menjaga kejujuran. Kalau kita membiarkan uang dan tipu daya merusak pemilu ini, maka kita telah menghancurkan demokrasi itu sendiri."

Namun, Andi merasa bingung. "Tapi Pak, kenapa semua ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya kita memilih pemimpin berdasarkan hati nurani?"

Pak Budi menatap wajah Andi dengan serius. "Memang seharusnya begitu, Nak. Tapi, dunia politik tidak sesederhana itu. Banyak yang tergoda oleh kekuasaan dan uang. Tapi kita, sebagai warga negara, harus berani melawan. Jangan biarkan budaya buruk ini merusak negeri ini."

Hari itu pemilu berjalan dengan ketegangan. Hasil perhitungan suara diumumkan dengan kemenangan yang cukup adil. Namun, di balik itu ada kenyataan pahit yang harus diterima. Sebagian besar pemilih masih dipengaruhi oleh iming-iming uang dan kekuasaan. Bahkan, setelah pemilu berakhir, beberapa kelompok mulai mengatur permainan politik mereka sendiri di balik layar.

Pak Budi dan Andi kembali berjalan pulang menuju rumah mereka. Namun, perasaan Andi tidak sama lagi. Ada kekhawatiran yang menyelubungi pikirannya. "Apakah ini yang akan kita hadapi di masa depan, Pak? Apakah kita akan selalu terjebak dalam permainan politik ini?"

Pak Budi berhenti sejenak, menatap matahari yang mulai terbit, memberikan cahaya baru untuk dunia. "Begitulah kenyataannya, Nak. Tapi, bukan berarti kita menyerah. Setiap pemilu adalah kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Kita harus terus berjuang agar demokrasi ini tidak hilang. Jangan sampai kita membiarkan kepentingan pribadi merusak cita-cita bangsa."

Andi merasa terpanggil. Ia tahu bahwa perjuangan untuk demokrasi tidak akan mudah. Tetapi, dengan tekad dan kerja keras, mereka bisa melawan ketidakadilan yang ada. Ia melihat Pak Budi sebagai sosok yang teguh, yang tidak hanya memberikan hak pilihnya, tetapi juga melibatkan diri dalam mempertahankan integritas demokrasi.

Saat mereka tiba di rumah, Andi menatap langit yang mulai cerah. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah menyerah pada prinsipnya, meskipun tantangan besar menghadang. Demokrasi yang sesungguhnya, kata Pak Budi, akan selalu membutuhkan orang-orang yang berani berdiri tegak melawan arus, berani berkata tidak pada kepentingan yang merusak, dan berani memilih pemimpin yang benar-benar untuk rakyat.

"Ini baru permulaan, Nak," kata Pak Budi, tersenyum pada Andi. "Demokrasi itu milik kita. Dan kita harus menjaga agar tetap bersih dan murni."

Andi mengangguk dengan tekad yang baru. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan untuk mencapai demokrasi sejati akan panjang. Namun, jika semua orang memiliki keberanian dan keyakinan, bangsa ini akan berhasil menjaga kemerdekaannya, dan suara rakyat akan selalu menjadi yang paling utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun