OLEH: Khoeri Abdul Muid
Tahun 1955, Indonesia yang baru merdeka bersiap menghadapi pemilu pertama. Dengan semangat yang berkobar, bangsa ini ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mampu menentukan nasib mereka sendiri. Pemilu pertama itu bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga tentang menjaga integritas, tentang perjuangan panjang untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya: demokrasi yang sejati.
Di sebuah desa terpencil, Pak Budi, seorang petani berusia lanjut, berdiri di depan tempat pemungutan suara. Cahaya fajar yang perlahan menyinari bumi memberikan harapan baru baginya. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia bisa memilih pemimpin untuk negeri ini.
"Pak Budi, kenapa sudah datang sejak subuh?" tanya Andi, pemuda yang baru pertama kali ikut pemilu.
Pak Budi tersenyum bijak, mengusap peluh yang mengalir di dahinya. "Karena ini adalah hak kita, Nak. Suara kita adalah kekuatan. Demokrasi ini milik rakyat. Seperti kata Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kita harus menjaga ini."
Andi mengangguk, namun di dalam hatinya masih ada keraguan. Ia tahu pemilu ini adalah langkah pertama yang besar, tetapi di luar sana, dunia politik penuh dengan permainan dan tipu daya. Ia merasa ada sesuatu yang gelap di balik pemandangan yang tampak indah.
Saat giliran Andi tiba untuk memilih, ia memasukkan kertas suara ke dalam kotak. Namun, suara hiruk-pikuk dari luar mengalihkan perhatiannya. Sekelompok pemuda dengan slogan-slogan keras mulai memasuki area pemilu, mengguncang ketenangan pagi itu. Mereka berteriak mendukung calon mereka, namun ada yang tidak biasa. Beberapa dari mereka menawarkan amplop berisi uang kecil kepada para pemilih sebagai imbalan untuk memilih calon tertentu.
Andi terkejut. "Apakah ini yang disebut demokrasi?" gumamnya dalam hati.
Pak Budi yang melihat kecemasan di wajah Andi segera mendekat. "Itulah yang kita hadapi, Nak. Demokrasi itu bukan hanya soal memilih, tapi soal menjaga kejujuran. Kalau kita membiarkan uang dan tipu daya merusak pemilu ini, maka kita telah menghancurkan demokrasi itu sendiri."
Namun, Andi merasa bingung. "Tapi Pak, kenapa semua ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya kita memilih pemimpin berdasarkan hati nurani?"
Pak Budi menatap wajah Andi dengan serius. "Memang seharusnya begitu, Nak. Tapi, dunia politik tidak sesederhana itu. Banyak yang tergoda oleh kekuasaan dan uang. Tapi kita, sebagai warga negara, harus berani melawan. Jangan biarkan budaya buruk ini merusak negeri ini."