OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah kafe kecil, Sasha duduk di meja pojok dengan rambut ungu menyala dan jaket oversized berwarna hitam. Pandangannya kosong, tapi jari-jarinya mengetuk meja dengan irama yang tak beraturan. Kopi hitam di depannya sudah hampir habis, tapi Sasha belum ingin pergi. Mereka merasa dunia ini terlalu sempit untuk dirinya, tapi juga terlalu besar untuk ditinggalkan.
"Eh, aku mikir, ya," Sasha bicara pelan pada dirinya sendiri, tapi cukup keras hingga pelayan yang lewat menoleh. "Kenapa sih, hidup itu harus sesuai template? Cewek harus feminin, cowok harus maskulin? Hah, omong kosong."
Tak jauh dari Sasha, seorang pria paruh baya dengan wajah dingin mendengar keluhan itu. "Anak muda zaman sekarang," gumamnya sambil menyesap kopinya. "Banyak omong daripada kerja."
Sasha mendengar, tapi pura-pura tak peduli. Alih-alih menjawab, mereka memandang ke luar jendela, di mana langit mulai mendung.
Hingga akhirnya, pintu kafe terbuka, dan masuklah Dara---seseorang dari masa lalu Sasha.
"Sasha," Dara memanggil, suaranya bergetar.
Sasha tertegun. Dara? Kenapa dia muncul sekarang? Setelah bertahun-tahun tak ada kabar, tiba-tiba Dara kembali, seperti hantu dari ingatan yang ingin dilupakan.
"Sudah lama, ya," Dara berkata sambil berjalan mendekat. Ia duduk tanpa izin, tatapannya tak pernah lepas dari Sasha. "Kamu kelihatan... berbeda."
"Dan kamu masih suka nyelonong," Sasha menjawab dingin.
Dara tertawa kecil. "Tapi kamu nggak keberatan, kan? Dulu juga kamu selalu biarin aku."
"Berubah pikiran," jawab Sasha singkat.
Dara menghela napas. "Aku dengar kamu... ya, begini sekarang. Apa istilahnya? Androgini?"
Sasha mendongak, tatapannya tajam seperti belati. "Kalau kamu datang cuma untuk menghakimi, pintunya di belakangmu."
"Aku nggak datang untuk itu, Sasha. Aku cuma... rindu."
"Rindu?" Sasha tertawa, dingin dan penuh sarkasme. "Kamu rindu Sasha yang mana? Yang diam? Yang takut bicara? Yang pura-pura jadi apa yang orang lain mau?"
Dara terdiam. Ia tidak siap dengan luka yang masih terbuka di dalam diri Sasha.
"Aku nggak pergi karena kamu nggak cukup, Sasha," Dara berkata pelan. "Aku pergi karena aku nggak tahu gimana caranya buat tetap di sisimu tanpa menyakitimu."
Sasha menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Kamu pergi karena kamu nggak mau menghadapi siapa aku sebenarnya. Sekarang kamu datang, buat apa? Aku sudah cukup sibuk melawan dunia. Aku nggak butuh lagi orang yang cuma datang untuk bikin hidupku makin rumit."
"Kalau aku minta kesempatan kedua?" Dara bertanya, suaranya nyaris seperti bisikan.
Sasha berdiri. "Kamu tahu apa soal kesempatan? Aku sudah habis-habisan memberi kesempatan pada dunia untuk mengerti aku. Aku bahkan nggak punya lagi buat diriku sendiri."
Sasha melangkah keluar, meninggalkan Dara yang terpaku. Langit di luar telah berubah gelap, dan hujan mulai turun.
Di luar, Sasha berjalan tanpa arah di trotoar yang basah. Air hujan mengalir di wajahnya, bercampur dengan air mata yang tak terbendung.
"Kenapa mereka semua selalu bilang rindu," Sasha bergumam pada dirinya sendiri. "Tapi nggak pernah benar-benar tinggal?"
Langkahnya terhenti ketika sebuah truk besar melintas dengan kecepatan tinggi di jalan licin. Sasha tidak melihatnya. Yang mereka tahu, segalanya menjadi gelap dalam sekejap.
Di belakang, Dara berlari keluar dari kafe, memanggil nama Sasha dengan panik. Namun, yang ia temukan hanyalah tubuh Sasha tergeletak di jalan, dikelilingi genangan merah yang memudar bersama hujan.
Dara jatuh berlutut, menatap Sasha dengan air mata bercucuran. "Aku benar-benar rindu..." ia berbisik, tapi Sasha sudah tak bisa mendengar.
Dan di langit yang kelam, hujan turun seperti protes alam terhadap dunia yang terlalu sempit untuk seseorang seperti Sasha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H