OLEH: Khoeri Abdul Muid
Aku tak pernah suka binatang. Mereka selalu terasa mengganggu---kucing, anjing, ikan, semuanya. Keluargaku? Mereka mencintai binatang. Anjing yang menggonggong keras, kucing yang tidur sembarangan, ikan yang aku tak pernah pedulikan. Aku lebih nyaman dengan buku, jauh dari hingar-bingar mereka.
Di antara hewan-hewan itu, ada satu yang paling menyebalkan---kucing tetangga. Dia selalu datang merusak tanamanku. Setiap kali aku merawat tanaman dengan penuh kasih, kucing itu datang, memecahkan pot, dan membongkar tanahnya. Tanamanku mati satu per satu, dan aku semakin membencinya.
Tapi kemarin pagi, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi.
Aku selesai sarapan, mendengar suara gemerincing di depan pintu. Suara itu bukan suara aneh, tapi terasa asing. Aku membuka pintu dan melihatnya---seekor kucing tiga warna terbaring di keset depan pintu. Matanya bulat dan lembut, seperti menyimpan ribuan cerita yang ingin dia ceritakan, tapi aku tak tahu harus mulai dari mana.
"Siapa kamu?" tanyaku, meskipun aku sudah tahu jawabannya. Kalung yang melingkar di lehernya jelas menunjukkan bahwa dia milik seseorang. Tapi aku tak bisa mengusirnya begitu saja. Aku memandangnya. Ada perasaan yang tak bisa kuungkapkan. Kucing itu tak bergerak.
Lalu, tiba-tiba, dia berguling dan telentang di atas keset, seolah berkata, "Terserah kamu." Aku terdiam. Ada perasaan yang datang begitu saja. Matanya yang imut itu mengingatkanku pada sesuatu yang lebih dalam. Ada rasa benci, namun juga ketertarikan yang aneh.
Aku teringat kejadian di Caversham Wildlife Park beberapa bulan lalu. Saat itu, aku duduk di samping kangguru besar, mengelus punggungnya yang lembut. Awalnya, aku tak suka hewan besar seperti itu. Tapi saat aku merasakannya, ada sesuatu yang membingungkan. Aku merasa terhubung, meskipun sebelumnya aku tidak pernah ingin dekat dengan hewan-hewan seperti itu.
Begitu juga dengan kucing ini. Aku tak suka kucing. Setidaknya itulah yang kutahu. Tapi tatapannya---tatapan itu---tak bisa kuhindari. Tiba-tiba aku merasa cemas, seolah ada yang menggerakkan aku untuk lebih peduli padanya. Mungkin inilah yang disebut benign masochism. Kita sering jatuh cinta pada hal-hal yang kita benci, bukan?
Aku duduk di sampingnya, merasakan bulunya yang lembut. "Kamu memang merusak tanamanku," kataku pelan, "tapi aku nggak bisa membiarkanmu pergi begitu saja." Kucing itu hanya diam, menatapku dengan tatapan yang seolah berkata, "Aku tahu."
Akhirnya, aku memutuskan untuk membawa kucing itu masuk ke dalam rumah. Meski hatiku masih penuh keraguan, aku tak bisa menolak. Ada sesuatu dalam diriku yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya. Sesuatu yang benci, tapi sekarang terasa seperti bagian dari aku. Mungkin ini adalah pelajaran yang selama ini kutolak. Terkadang, kita harus menghadapi dan merangkul apa yang kita benci untuk menemukan kedamaian yang selama ini kita hindari.
Aku mengelus kucing itu dengan lembut, seolah aku juga mengelus bagian dari diriku yang dulu kutolak. Dalam hatiku, aku tahu---mungkin aku tak akan pernah menjadi penggemar binatang. Tapi aku belajar bahwa untuk menemukan kedamaian, kita harus belajar merawat apa yang kita benci.
Dan di situlah kedamaian itu---dalam tatapan matanya yang lembut. Sebuah rahasia yang selama ini aku hindari, tapi kini aku terima dengan penuh pengertian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H