Perempuan itu tersenyum samar. "Benarkah begitu? Kau tidak ingin melihat kenyataan. Baiklah, aku akan menunjukkan padamu."
Ruangan itu tiba-tiba berubah menjadi gelap. Tubuh Pak Darma terasa terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Saat ia membuka mata, ia melihat dirinya sendiri yang lebih muda.
Ia melihat bagaimana ia memaki istrinya yang menyajikan makanan yang tidak sesuai seleranya. "Dasar perempuan bodoh!" Ia melihat istrinya menangis diam-diam.
Adegan berganti. Ia melihat dirinya memukul anaknya yang pulang terlambat karena membantu tetangga mengangkut hasil panen. "Kau lebih peduli pada orang lain daripada ayahmu sendiri!" bentaknya.
Pemandangan itu terus berganti. Ia melihat dirinya memfitnah saudaranya agar mendapat bagian tanah warisan lebih banyak. Ia bahkan melihat wajah-wajah tetangga yang terluka akibat kata-katanya yang tajam.
Pak Darma menutup wajahnya. "Tidak! Itu bukan aku!"
Suara perempuan itu menggema. "Benarkah bukan kau? Semua penderitaanmu adalah akibat dari tindakanmu sendiri. Kau menanam benih kebencian, maka kau menuai kesepian."
Pak Darma terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Ia terengah-engah, menatap langit-langit rumah yang penuh sarang laba-laba. Kata-kata perempuan itu terus terngiang: "Kau menanam, maka kau menuai."
Hari itu, untuk pertama kalinya, ia mencoba keluar dari rutinitasnya yang penuh keluhan. Ia menyapa tetangga yang dulu sering dimakinya. Namun, tanggapan yang ia terima hanya tatapan dingin.
Ia mendatangi anak sulungnya yang tinggal di desa sebelah. Namun, sang anak menolak bertemu. "Ayah hanya tahu menyakiti kami," katanya dari balik pintu.
Pak Darma mencoba meminta maaf kepada saudaranya yang dulu ia fitnah. Tapi sang saudara hanya berkata dingin, "Kebaikan bukan sesuatu yang bisa kau beli dengan kata maaf."