Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akar Kehidupan

23 November 2024   21:37 Diperbarui: 23 November 2024   21:53 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Hujan mengguyur deras di desa kecil itu. Langit mendung, seakan menjadi cermin hati Surya yang sedang dilanda gelisah. Ia duduk di teras rumah besar peninggalan orang tuanya, menatap pekarangan luas yang kini kosong setelah panen terakhir.

"Mas, aku tahu kamu lagi mikir," suara lirih istrinya, Mira, memecah keheningan. Mira duduk di sampingnya, membawa secangkir teh panas.

"Ini tentang tanah itu lagi, kan?" lanjut Mira, mencoba membaca isi kepala suaminya.

Surya mengangguk lemah. "Tanah ini dulunya milik bapakku. Dia bilang, tanah ini harus dijaga. Tapi sekarang, aku merasa gagal. Sawah-sawah ini nggak menghasilkan cukup untuk keluarga kita. Aku terpikir menjual separuhnya."

Mira menatapnya, ragu. "Mas, tanah ini bukan cuma soal harta. Ini adalah warisan yang menjaga kita tetap berpijak pada akar. Kalau kamu menjualnya, apa benar itu jalan keluar?"

"Lalu mau apa? Terus bertahan begini? Hutang di mana-mana, hidup seperti ini hanya bikin aku merasa rendah!" Surya meledak, suaranya lebih keras dari yang ia inginkan.

Mira terdiam, menahan perih di dadanya.

Di malam yang tenang itu, Surya memutuskan pergi ke rumah Pak Darman, tetua desa yang dihormati. Pak Darman adalah orang yang dikenal bijak, meski hidupnya sangat sederhana.

"Pak, aku bingung. Semua terasa salah. Aku merasa direndahkan karena tanah ini tak lagi bisa menopang hidup keluarga kami," kata Surya, membuka isi hatinya di hadapan pria tua itu.

Pak Darman mengangguk, mengaduk kopi hitamnya pelan. "Sur, aku paham apa yang kamu rasakan. Kadang kita ingin melepaskan sesuatu demi yang terlihat lebih baik. Tapi coba ingat satu hal: menungsa lair ing donya ora nggawa apa-apa. Kamu nggak lahir dengan sawah ini, juga nggak akan membawa apa pun saat meninggalkan dunia ini. Yang penting bukan seberapa besar yang kamu miliki, tapi seberapa besar manfaat yang kamu tinggalkan."

"Tapi, Pak," Surya mendesah. "Aku nggak mau anak-anakku hidup dalam kekurangan."

"Surya, kebutuhan itu beda dengan keinginan. Kamu sekarang dikuasai oleh ego yang menginginkan lebih dari yang kamu butuhkan. Apakah kamu yakin menjual tanah ini adalah solusi? Atau hanya cara untuk memuaskan perasaan ingin lebih?"

Surya terdiam. Kata-kata Pak Darman menusuk hatinya, membuka sisi lain yang selama ini ia abaikan.

Hari berikutnya, Surya berdiri di tengah sawahnya. Ia memandang sekeliling dengan mata yang berbeda. Tiba-tiba ia teringat bagaimana ayahnya bekerja keras, mencangkul dari pagi hingga petang, hanya untuk memastikan mereka bisa makan dan sekolah.

"Bapak dulu nggak pernah menyerah," gumamnya sendiri. "Kenapa aku malah mencari jalan pintas?"

Keputusan besar pun lahir di hatinya. Daripada menjual tanah, ia memilih untuk mengelolanya dengan lebih baik. Ia menjual satu motor kesayangannya untuk membeli bibit baru dan pupuk organik. Ia mencari ilmu dari petani-petani muda yang menggunakan teknologi modern untuk meningkatkan hasil panen.

Setahun kemudian, sawah itu kembali hidup. Panen kali ini berlipat dari sebelumnya. Surya bahkan membuka lapangan kerja bagi beberapa tetangga yang membutuhkan.

"Mas, lihat ini!" Mira datang dengan senyum lebar, membawa laporan keuangan sederhana. "Hasil panen kita cukup untuk membayar hutang dan menyekolahkan anak-anak sampai SMA."

Surya menghela napas panjang, penuh rasa syukur. "Kamu benar, Mira. Aku hampir kehilangan akarku karena ego yang ingin lebih. Tapi sekarang aku sadar, semua ini bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi bagaimana kita menjaganya untuk kebaikan bersama."

Di malam yang hening, Surya kembali ke rumah Pak Darman untuk mengucapkan terima kasih.

"Pak, aku ingin menyampaikan satu hal," kata Surya, suaranya tenang.

"Apa itu, Sur?"

"Terima kasih telah mengingatkanku bahwa aku lahir ke dunia ini nggak membawa apa-apa. Aku sekarang tahu, saat aku meninggalkan dunia ini nanti, yang akan dikenang bukan harta yang aku kumpulkan, tapi apa yang aku tinggalkan untuk orang lain."

Pak Darman tersenyum kecil. "Sur, kamu telah menemukan akar kehidupanmu. Ingatlah, kekayaan sejati bukan pada materi, tapi pada manfaat yang bisa kita bagikan."

Surya menatap bintang-bintang di langit malam. Di dadanya, ia merasa damai untuk pertama kalinya. Ia tahu, perjuangannya baru saja dimulai, tetapi kali ini, ia melangkah dengan hati yang bersih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun