"Tapi kamu punya sesuatu yang mereka nggak punya: ketulusan. Itu yang membuat pidatomu hidup," kata Sari dengan yakin.
Hari lomba pun tiba. Aula kabupaten dipenuhi ratusan peserta dan penonton. Lintang berdiri di belakang panggung, gemetar sambil memegang teks pidatonya.
Seorang peserta dari sekolah kota melangkah ke panggung dengan percaya diri. Pidatonya penuh retorika dan tepuk tangan riuh menggema. Lintang merasa semakin kecil.
"Lintang, giliranmu!" panggil panitia.
Dengan langkah ragu, ia naik ke panggung. Pandangannya menyapu ruangan yang penuh wajah asing. Tangannya bergetar. Ia menatap teks di tangannya, tetapi kata-kata itu seolah kabur.
Tiba-tiba, ingatan akan kata-kata ibunya melintas di pikirannya: "Bukan karena mudah, kita yakin bisa. Tetapi karena kita yakin bisa, semuanya akan menjadi mudah."
Lintang menarik napas panjang. Ia meletakkan teksnya di podium dan mulai berbicara dengan suara yang bergetar, tetapi penuh kejujuran.
"Wania ing pakewuh wedia ing gumampang. Terkadang kita takut mencoba karena merasa kecil, merasa tidak mampu. Tapi apa artinya percaya diri? Bukan soal merasa hebat, tapi berani melangkah meski hati dipenuhi keraguan. Saya berdiri di sini bukan karena saya lebih baik dari kalian, tapi karena saya ingin belajar melawan rasa takut saya sendiri."
Setiap kata yang keluar dari mulut Lintang menyentuh hati para penonton. Tidak ada hiasan bahasa yang berlebihan, tetapi kejujurannya membuat ruangan itu hening.
Ketika lomba selesai, panitia mengumumkan para pemenang. "Juara pertama, dari SD Negeri Kalipucung: Lintang!"
Lintang terdiam, tak percaya mendengar namanya disebut. Ia melangkah ke depan dengan air mata yang menggenang.