Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Kepala Sekolah SDN Kuryokalangan 02, Gabus Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wania Ing Pakewuh Wedia Ing Gumampang

23 November 2024   19:16 Diperbarui: 23 November 2024   22:33 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Sore itu, Lintang berdiri di depan rumah kayunya yang sederhana. Tangan mungilnya menggenggam sebuah surat pengumuman. Di atas amplop itu tertulis tegas: Lomba Pidato Bahasa Jawa Tingkat Kabupaten.

"Bu, lihat ini!" Lintang berlari ke dapur tempat ibunya tengah menggoreng pisang. "Aku dipilih mewakili sekolah untuk lomba pidato!"

Ibunya menoleh dengan senyum bangga. "Wah, bagus, Nduk! Tapi... kok wajahmu malah kelihatan takut begitu?"

Lintang menggigit bibirnya. "Aku... aku nggak yakin, Bu. Aku kan cuma anak desa. Teman-teman dari sekolah lain pasti lebih hebat. Aku takut malu."

Ibunya berhenti sejenak, lalu duduk di bangku kayu sambil memegang tangan Lintang. "Nduk, kamu tahu kenapa burung bisa terbang?"

"Karena dia punya sayap?" jawab Lintang ragu.

"Bukan, karena dia yakin bisa terbang. Kalau dia ragu, sayap itu nggak akan berguna. Begitu juga kamu. Kalau kamu yakin, pasti bisa. Masalah menang atau kalah itu urusan nanti."

Hari demi hari, Lintang berlatih dengan keras. Ia menghafal pidatonya, memperbaiki intonasi, dan belajar menatap audiens dengan percaya diri. Tapi semakin dekat hari lomba, rasa takutnya makin besar.

Di sekolah, temannya, Sari, menyemangatinya. "Lintang, pidatomu bagus sekali! Aku yakin kamu bisa menang."

Lintang hanya tersenyum kecil. "Terima kasih, Sar. Tapi aku takut, aku ini nggak sepintar anak-anak kota."

"Tapi kamu punya sesuatu yang mereka nggak punya: ketulusan. Itu yang membuat pidatomu hidup," kata Sari dengan yakin.

Hari lomba pun tiba. Aula kabupaten dipenuhi ratusan peserta dan penonton. Lintang berdiri di belakang panggung, gemetar sambil memegang teks pidatonya.

Seorang peserta dari sekolah kota melangkah ke panggung dengan percaya diri. Pidatonya penuh retorika dan tepuk tangan riuh menggema. Lintang merasa semakin kecil.

"Lintang, giliranmu!" panggil panitia.

Dengan langkah ragu, ia naik ke panggung. Pandangannya menyapu ruangan yang penuh wajah asing. Tangannya bergetar. Ia menatap teks di tangannya, tetapi kata-kata itu seolah kabur.

Tiba-tiba, ingatan akan kata-kata ibunya melintas di pikirannya: "Bukan karena mudah, kita yakin bisa. Tetapi karena kita yakin bisa, semuanya akan menjadi mudah."

Lintang menarik napas panjang. Ia meletakkan teksnya di podium dan mulai berbicara dengan suara yang bergetar, tetapi penuh kejujuran.

"Wania ing pakewuh wedia ing gumampang. Terkadang kita takut mencoba karena merasa kecil, merasa tidak mampu. Tapi apa artinya percaya diri? Bukan soal merasa hebat, tapi berani melangkah meski hati dipenuhi keraguan. Saya berdiri di sini bukan karena saya lebih baik dari kalian, tapi karena saya ingin belajar melawan rasa takut saya sendiri."

Setiap kata yang keluar dari mulut Lintang menyentuh hati para penonton. Tidak ada hiasan bahasa yang berlebihan, tetapi kejujurannya membuat ruangan itu hening.

Ketika lomba selesai, panitia mengumumkan para pemenang. "Juara pertama, dari SD Negeri Kalipucung: Lintang!"

Lintang terdiam, tak percaya mendengar namanya disebut. Ia melangkah ke depan dengan air mata yang menggenang.

Saat ia menerima piala, ia menatap ke arah ibunya yang berdiri di belakang aula, tersenyum bangga. Dalam hati, Lintang berbisik, "Bu, aku bisa karena aku percaya. Terima kasih telah mengajarkan itu."

Di perjalanan pulang, Lintang memeluk pialanya erat-erat. Ia berkata pada ibunya, "Bu, aku tidak akan takut lagi. Karena aku tahu, selama aku berusaha dengan yakin, aku bisa melewati apa pun."

Ibunya tersenyum sambil mengusap kepala Lintang. "Itu, Nduk. Hidup ini seperti berjalan di jalan berbatu. Kalau kamu terlalu takut melangkah, kamu nggak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi kalau kamu percaya pada dirimu sendiri, batu itu malah jadi pijakanmu untuk naik lebih tinggi."

Lintang menatap jalan di depannya dengan mata yang berbinar. Ia tahu, kemenangan itu bukanlah akhir, melainkan awal dari langkah-langkah besar lainnya.

Kalamun kepengin dadi apik, kang wigati tumandang gawe.

Titik berat melatih diri untuk menjadi baik (transformasi moral), tidak terletak pada seberkas aturan atau setumpuk ilmu pengetahuan, melainkan pada praktek nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun