OLEH: Khoeri Abdul Muid
Desa Kalibening diselimuti kesunyian pagi ketika Sari, seorang gadis desa yang sederhana, melangkah ke sumur umum untuk mengambil air. Kehidupan Sari selalu penuh kerja keras. Ia tak pernah menghitung-hitung kebaikan yang ia lakukan, entah kepada tetangga, teman, atau bahkan orang asing yang hanya singgah sebentar di desa itu.
Namun, tidak semua orang mengerti ketulusan Sari. Salah satunya adalah Lasmi, tetangganya yang sering iri hati. Lasmi merasa terganggu karena semua orang selalu memuji Sari.
"Ah, dia sok baik saja," gumam Lasmi suatu pagi sambil mencuci pakaian di sumur. "Aku yakin, dia itu cuma cari perhatian."
Sari yang mendengar itu tersenyum kecil. Ia tak menanggapi, hanya melanjutkan pekerjaannya.
Suatu hari, berita mengejutkan datang. Lasmi jatuh sakit parah. Tubuhnya lemah, dan ia tak bisa bekerja untuk menghidupi keluarganya. Desas-desus mulai menyebar bahwa keluarganya kehabisan uang untuk membeli obat.
"Kasihan, ya. Tapi siapa yang mau bantu? Lasmi kan sering menyakiti orang," bisik seorang ibu di warung.
Namun, tanpa banyak bicara, Sari diam-diam mulai bergerak. Ia menggunakan sebagian besar uang hasil kerjanya sebagai buruh tani untuk membeli obat dan bahan makanan bagi keluarga Lasmi. Setiap malam, ia meninggalkan barang-barang itu di depan pintu rumah Lasmi tanpa pernah mengungkapkan identitasnya.
Waktu berlalu. Lasmi perlahan pulih, tetapi ia tak pernah tahu siapa yang telah membantu keluarganya melewati masa sulit. Hingga suatu hari, ia memergoki Sari yang tengah meninggalkan sekantong bahan makanan di depan rumahnya.
"Sari?" Lasmi memanggil dengan suara parau.
Sari terkejut, namun segera tersenyum lembut. "Oh, aku hanya mampir. Ini... aku bawakan sedikit beras untuk keluargamu."
Lasmi terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa kamu melakukan ini? Aku sering bicara buruk tentangmu. Aku... aku tidak pantas mendapat ini darimu."
Sari menatapnya dengan lembut. "Lasmi, aku tidak pernah mengingat hal buruk yang orang lain lakukan padaku. Kalau aku mengingatnya, hatiku yang akan penuh luka. Tapi aku selalu ingat, ketika kita diberi kesempatan untuk berbuat baik, itu adalah anugerah yang tak boleh disia-siakan."
"Tapi aku..." Lasmi tak sanggup melanjutkan. Air matanya jatuh begitu saja.
"Lasmi, jika aku pernah berbuat baik, biarlah itu hilang seperti tulisan di atas air. Tapi jika ada orang lain yang berbuat baik padaku, aku akan selalu mengingatnya seperti ukiran di atas batu. Begitu pula denganmu. Aku tak akan lupa, waktu kecil, kamu pernah membagi roti saat aku kelaparan di sekolah. Itu aku ingat sampai sekarang."
Lasmi tergugu mendengar kata-kata itu. Ia merasa kecil, tetapi juga belajar sesuatu yang besar dari Sari.
Sejak saat itu, Lasmi berubah. Ia mulai memahami bahwa hidup bukan soal siapa yang paling banyak menerima, tetapi siapa yang paling ikhlas memberi. Dan di setiap sudut desa, jika seseorang menyebut nama Sari, Lasmi akan berkata dengan bangga, “Dia adalah orang yang tak pernah melupakan kebaikan, meski hanya sekecil debu. Dari dia, aku belajar bahwa kebaikan tak perlu diingat, tetapi harus terus dilakukan.”
Hidup di Desa Kalibening pun menjadi lebih hangat. Setiap orang belajar dari ketulusan Sari dan memahami bahwa kebajikan sejati adalah yang mengalir, bukan untuk dikenang, tetapi untuk terus dilanjutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H