Lasmi terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa kamu melakukan ini? Aku sering bicara buruk tentangmu. Aku... aku tidak pantas mendapat ini darimu."
Sari menatapnya dengan lembut. "Lasmi, aku tidak pernah mengingat hal buruk yang orang lain lakukan padaku. Kalau aku mengingatnya, hatiku yang akan penuh luka. Tapi aku selalu ingat, ketika kita diberi kesempatan untuk berbuat baik, itu adalah anugerah yang tak boleh disia-siakan."
"Tapi aku..." Lasmi tak sanggup melanjutkan. Air matanya jatuh begitu saja.
"Lasmi, jika aku pernah berbuat baik, biarlah itu hilang seperti tulisan di atas air. Tapi jika ada orang lain yang berbuat baik padaku, aku akan selalu mengingatnya seperti ukiran di atas batu. Begitu pula denganmu. Aku tak akan lupa, waktu kecil, kamu pernah membagi roti saat aku kelaparan di sekolah. Itu aku ingat sampai sekarang."
Lasmi tergugu mendengar kata-kata itu. Ia merasa kecil, tetapi juga belajar sesuatu yang besar dari Sari.
Sejak saat itu, Lasmi berubah. Ia mulai memahami bahwa hidup bukan soal siapa yang paling banyak menerima, tetapi siapa yang paling ikhlas memberi. Dan di setiap sudut desa, jika seseorang menyebut nama Sari, Lasmi akan berkata dengan bangga, “Dia adalah orang yang tak pernah melupakan kebaikan, meski hanya sekecil debu. Dari dia, aku belajar bahwa kebaikan tak perlu diingat, tetapi harus terus dilakukan.”
Hidup di Desa Kalibening pun menjadi lebih hangat. Setiap orang belajar dari ketulusan Sari dan memahami bahwa kebajikan sejati adalah yang mengalir, bukan untuk dikenang, tetapi untuk terus dilanjutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H